Friday, July 13, 2007

Sang "Asketik"

Aforisme laki-laki itu masih terngiang jelas di telingaku. Entah darimana asalnya. Bahkan aku belum tahu namanya. Aku lupa menanyakannya. Ufh...aku benci dengan makhluk yang bernama "penasaran". Dan kali ini, pertama kali aku mendengar sebuah pernyataan yang sepertinya belum pernah diucapkan oleh siapapun. Jarang kita temukan sebuah pernyataan yang asli dari si pengucap. Bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada istilah teks murni dari si penulis, pengucap atau apalah namanya. Sejarah peradaban manusia yang selalu berganti setidaknya telah membuktikan, bahwa sebuah komunitas manusia ketika menginginkan perubahan, ia harus mempelajari komunitas lain secara seksama, bagaimana komunitas itu bisa bangkit. Dan bahwa dalam usaha untuk bangkit, pasti akan kita dapatkan sebuah gerakan "terjemah", dalam upaya mentransfer ilmu pengetahuan sebuah komunitas yang telah melewati masa keemasannya. Maka tak mengherankan, jika banyak para ilmuwan tenar hanya dengan "plagiatisme". Aku sendiri jarang langsung percaya jika ada seseorang dikatakan 'bapak sosial modern', 'bapak filosof modern', atau apalah namanya. Apalagi dalam ruang lingkup pemikiran. Fuih....bosen. Itu-itu saja. Dan herannya, manusia masih asyik saja berbicara tentang itu. Masih pura-pura bingung mengartikan hidup. Masih pura-pura tidak menemukan "Yang Tak Terbatas", yang tak beruang dan tak berwaktu. Jangan-jangan aku sendiri termasuk dalam golongan mereka.

"Saya ada ... karena saya tidak bersama manusia", begitu katanya. Aku berusaha mengklasifikasi pernyataannya. Tentang eksistensi manusia, yaa pasti dia ingin memaknai hidup, ia ingin mengafirmasi keberadaannya. Bagaimana seharusnya kita hidup. Sangat bertolak belakang sekali dengan apa yang sering kita dengar bahwa al-insân madaniyyun bi at-thab'. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri, ia butuh manusia lain, sebab ia terbatas dan kebutuhannya tidak bisa tercukupi tanpa bantuan manusia lain. Berbeda dengan ide-ide ilmuwan klasik yang berbicara tentang manusia, bahkan mungkin sampai sekarang. Adalah al-Faraby (870-950 M), ulama moslem dari Turkey, salah seorang yang mengamini sebuah adagium yang menyatakan bahwa manusia butuh manusia lain, saat ia menyusun sebuah teori seputar negara. Begitupula dengan Albert Camus, yang terkenal dengan aforismenya "aku berontak, maka kita ada". Saat ia berbicara tentang kemanusiaan, kesetiakawanan, kebersamaan. Berbeda pula dengan cara Descartes dalam upaya mengafirmasi keberadaannya yang mengatakan "aku berpikir maka aku ada".

"Lah ... bukannya sekarang anda sedang berbicara dengan seorang manusia?", tanyaku ingin mematahkan pernyataannya. Jawabannya benar-benar membuatku naik darah, sebenarnya, tapi aku pikir masih terlalu dini untuk marah, aku belum mengenal jalan pikirannya, jangan-jangan dia gila. Dia mengatakan padaku bahwa dia ingin memastikan ketololan-ketololan manusia yang bisa hidup dengan manusia lain. Dan untuk mengetahuinya, dia harus bercengkrama dengan manusia lain, keluar dari pertapaannya.

"Tidak bersama manusia lain, bukan berarti harus menyendiri ... ", tambahnya dengan nada yang sok filosof. Kemudian dengan perlahan dia melanjutkan kalimatnya. Dia ternyata muak dengan sikap manusia di sekelilingnya, yang sarat kepentingan. Saat ini, telah hilang dari permukaan bumi apa yang dinamakan persaudaraan, kebersamaan, kebebasan, semuanya hanyalah sebuah kamuflase. Tingkah laku manusia benar-benar telah menjadikannya sakit. Dia sempat menyinggung negaraku, bangsaku, bangsa Indonesia. Bangsa yang hobi memakan daging saudaranya sendiri. Bangsa yang suka minum darah saudaranya sendiri. Atau mungkin bangsa Indonesia memang tercipta sebagai bangsa budak sebagaimana dikatakan Pramoedya. Sepertinya memang bangsaku lebih baik dijajah ketimbang merdeka, sebab dengan terjajah, bangsaku melawan penjajah, bangsa asing. Dengan kemerdekaan, bangsaku menjadi terjajah oleh saudaranya dan harus melawan saudaranya sendiri. Kemerdekaan bangsaku hanya dirasakan oleh orang-orang tertentu yang sok memikirkan orang lain. Mereka tertawa di atas tangis saudaranya. Mereka kaya diatas kemiskinan saudaranya. Mereka bahagia diatas resah saudaranya. Mereka bukan manusia. Mereka mengkhianati perjuangan saudaranya. Dan yang lebih menyedihkan, sekarang bangsaku telah melegalkan darah dan daging saudaranya, bahkan telah menjadi makanan pokok. Pantesan...berita seputar KKN dah menjadi berita yang paling membosankan sehingga jarang tak seperti dulu, bukan karena telah punah, tapi karena sudah menjadi legal dan halal.

"Lantas ... yang anda inginkan dari saya?", tanyaku ingin menutup percakapan. Ternyata dia tidak gila, mungkin hanya pengaruh dari kekecewaannya saja. Dia hanya menginginkan aku untuk menjadi manusia seutuhnya. Yang tidak tertawa diatas tangis saudaraku, bangsaku. Yang tidak kaya diatas kemiskinan saudaraku, bangsaku. Yang tidak berfoya-foya di negara orang, sedang saudaraku disana masih banyak yang kelaparan.

"Saya bukan orang kaya, bagaimana saya bisa tertawa diatas penderitaan saudara-saudaraku, apalagi mau berfoya-foya, untuk bayar sewa rumah saja kadang pinjam ... ", jelasku.

"Nak ... saya tidak mengatakan untukmu saja, tapi untuk bangsamu!". Lalu ia pamit, pergi ke arah Giza, entah kemana. []



No comments: