Wednesday, October 10, 2007

Sapa Bintang

Bocah itu kembali menarik nafas, tatap matanya kosong. Tak ada mendung di matanya. Entah apa yang dipikirkan. Cuaca malam itu sejuk sekali. Sesekali ia menengadah ke atas, ke langit malam. Nampak beberapa bintang terang tersenyum, ditemani awan-awan tipis berkejaran yang sesekali menutupi senyum manis bintang-bintang, menambah manis senyuman itu. Kembali ia menarik nafas, kali ini lebih dalam. Kemudian ia merebahkan diri diatas rumput yang sejak tadi ia duduki, menyilangkan kedua tangannya dibelakang kepala sebagai bantal, kakinya disilangkan juga, kaki kanan di atas kaki kirinya. Kembali ia menarik nafas. Seakan hanya ia sendiri saat itu yang paling nelangsa di dunia ini.

Tak lama kemudian, matanya tak kosong lagi seperti beberapa menit lalu, tatapnya jauh menembus cakrawala, ia berbicara lirih,"Oh seandainya aku tercipta sebagai bintang, atau awan, atau langit, atau apalah asal bukan manusia. Ah...mereka yang selalu tersenyum, yang selalu mengagungkan Penciptanya tanpa mengenal lelah, tanpa membangkang. Ingin rasanya aku mengerti bahasa bintang, awan, langit, matahari, bulan. Bahasa yang selalu mengagungkan. Berat rasanya jadi manusia, Tuhan!!! Kenapa Kau beri manusia akal, memang dengan akal, derajat mereka lebih tinggi daripada binatang, tapi dengan akal pula mereka bisa tidak lebih tinggi daripada seekor anjing. Kau lihat Tuhan, betapa mereka dengan akal bisa membungkus rapi dan indah sebuah kebiadaban, pun sebaliknya. Betapa dengan akal mereka bisa memutarbalikkan fakta. Betapa dengan akal mereka berusaha mengelabuhiMu. Betapa dengan akal Kau dihujat. Betapa dengan akal Kau disingkirkan. Tuhan!!! Kenapa pula Kau beri manusia nafsu, menjadikan mereka egois, angkuh, dan liar. Kau lihat betapa mereka saling...ah, atau memang sengaja Kau buat sedemikian, untuk sekedar menguji mereka. Kau buat segala macam aturan sedemikian rupa, dan kau sertakan nafsu terhadap manusia, untuk melanggar aturan itu. Kau pun tahu, sedemikian kuat usaha manusia untuk melakukan perintahMu, maka akan kuat pula bahkan lebih kuat desakan nafsu untuk melanggar perintahMu. Dan Kau pun mengerti, sangat sulit bagi manusia mengendalikan nafsu. Atau Kau cipta manusia hanya untuk Kau siksa. Tuhan! Kau tahu bahwa betapa dengan adanya nafsu, apapun yang dilakukan manusia adalah hina, tak ada yang suci, baik atau buruk yang mereka lakukan. Perbuatan buruk tentu buruk nilainya, perbuatan baik...ah, betapa dengan nafsu sesungguhnya segala perbuatan baik manusia adalah lebih hina. Betapa mulia mereka yang mencari ilmu, mengajarkan dan mengamalkannya. Namun betapa dengan nafsu, Kau pun telah tuliskan, berapa banyak dari mereka bahwa apa yang telah mereka lakukan sia-sia. NabiMu pun sempat bercerita, bahwa Kau akan menanyakan kepada mereka yang mencari ilmu, 'Apa yang kau lakukan dengan ilmumu?', lalu mereka menjawab, 'hamba mengajarkan dan mengamalkannya'. Tapi Kau akan mengatakan, 'Bohong, kau sesungguhnya mencari ilmu dan mengajarkannya hanya agar dibilang âlim'. Tuhan! Betapa beruntungnya mereka yang Kau anugerahi kekayaan. Berapa banyak dari mereka yang suka menafkahkan sebagian besar hartanya di jalanMu. Namun betapa dengan nafsu, Kau pun telah tuliskan, berapa banyak dari mereka bahwa apa yang telah mereka nafkahkan adalah sia-sia. NabiMu pun sempat bercerita, bahwa Kau akan menanyakan kepada mereka yang Kau anugerahi kekayaan dan suka menafkahkannya, 'Apa yang kau lakukan dengan hartamu?', lalu mereka menjawab, 'hamba tidak melewatkan satu jalan pun yang Kau sukai untuk dinafkahi kecuali hamba berinfak di jalan tersebut, demi Engkau Tuhan'. Tapi Kau akan mengatakan, 'Bohong, kau sesungguhnya melakukan semua itu agar dibilang dermawan'. Tuhan! Betapa sulit tercipta sebagai manusia?!".

Butiran jernih menghiasi ujung kelopak mata bocah itu. Kembali ia menarik nafas, tak terlalu dalam. Bintang-bintang diatas tersenyum lembut dan ramah. Bocah itu ikut tersenyum, seakan memahami bahasa bintang. Angin malam menyapanya lembut, mengelus kulit wajah yang kering. Butiran jernih tadi mengalir menghiasi pipinya. []



Bawwâbah, Oct 10 2007



Read More......

Thursday, September 13, 2007

Benar Salah

"Sebab hidup mengajarkan pada kita bahwa yang 'benar' akan menang". Begitulah ungkap seorang pelanggan majalah bulanan el-'Araby dari Aljazair di rubrik surat pembaca, dalam menyikapi apa yang terjadi saat ini di tanah Palestina. Sekarang kita bisa melihat bahwa Negara Impian Yahudi hampir bisa dikatakan akan benar-benar terwujud, sebab masih ada sekitar 33% dari seluruh tanah Palestina yang belum bisa mereka duduki. Sebuah cita-cita yang mulai terorganisir sejak tahun 1897, yang dipelopori oleh Theodore Herzl. Namun, dengan kekuasaan dan hegemoni Amerika yang ada sekarang terhadap dunia, tentunya ungkapan diatas membuat kita kurang yakin (bila kita menganggap bahwa bangsa Palestina saat ini berada pada pihak "yang benar"). Jika seperti itu adanya, apa benar bangsa Palestina akan bisa mengalahkan gerakan Zionis di sana, pada akhirnya? Dan bila ternyata Zionis yang menang, itu berarti bahwa Zionis adalah "yang benar", sedangkan bangsa Palestina adalah "yang salah". Atau hidup salah mengajarkan pada kita, sepertinya yang 'benar' tidak selalu menang, adakalanya mereka yang 'salah' akan menang atau bahkan selalu menang.

Memang sih, berbicara 'benar' dan 'salah', kita harus benar-benar menyadari bahwa kita sedang hidup di tengah-tengah hukum alam yang tidak mutlak. Sebuah hukum yang 'bisa diatur'. Di dunia ini kita tidak bisa berteriak-teriak dengan topeng ke'benar'an jika kita tidak memiliki uang dan kekuasaan. Di dunia ini, yang benar hanya mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Ya ... kekuasaan dan uang merupakan sepasang sayap yang bisa mengantarkan kepada 'kemenangan'. Dan kalau sudah memiliki keduanya, baru kita bisa mengatur, yang salah dijadikan benar, yang benar otomatis jadi salah. Sebenarnya simpel sih kalau kita ingin menang di dunia ini, kita tidak boleh bermain dengan perasaan, kita harus 'tidak berperasaan', itu saja. Tapi dengan syarat, 'tidak berperasaan'-nya tidak boleh tanggung-tanggung. Misalnya, kalau korupsi jangan sedikit, sekalian korupsinya sekiranya lebih dari harga negara sendiri, atau kalau nggak sampe hati, paling tidak bisa mengatur pemegang hukum, dijamin selamat. Ke'benar'an tidak bisa dibantu, dibenarkan dan dimenangkan tanpa kekuasaan dan uang. Bila kita menuntut ke'benar'an kepada pemilik kekuasaan, kita harus memiliki uang untuk bisa mengatur si pemilik kekuasaan atau paling tidak, bisa mengancam jabatan mereka kalau tuntutan kita tidak dipenuhi. Sebab apapun yang dilakukan oleh manusia, pasti berada di bawah naungan sebuah 'kepentingan'.

Kembali ke topik utama. Dan ternyata, Zionis bisa bermain cantik dengan sepasang sayap itu, kekuasaan dan uang. Kekuasaan mereka peroleh dengan mengambil langkah-langkah pendahuluan untuk mendapatkan pengakuan internasional dalam merealisasikan cita-cita mereka. Sedangkan 'uang', mereka peroleh dengan mendirikan Bank Imperial Yahudi dengan nama Dana Asuransi Kolonialisasi Yahudi (Jewish Insurance Fund of Colonization) pada tahun 1899. Untuk melihat lebih dekat perjalanan Zionis, mari kita sejenak mengintip beberapa konferensi yang diselenggarakan sampai pada masa berdirinya Negara Zionis.

Konferensi pertama gerakan Zionis modern, pada bulan Agustus tahun 1897 diadakan di Basl, tepatnya di Munich. Konferensi ini dipimpin oleh Theodore Herzl. Disini, pada pidato pembukaannya ia menyampaikan bahwa tujuan akhir gerakan Zionis adalah “Mendirikan Negara Yahudi Melalui Kekuatan Hukum”, dan ia menegaskan bahwa masalah-masalah bangsa Yahudi tidak akan terselesaikan melalui imigrasi infiltrasi kaum Yahudi yang lamban tanpa adanya pengakuan secara hukum dari negara-negara besar. Dalam konferensi ini, Herzl menentukan tiga poin penting dalam upaya mewujudkan cita-cita Zionis:
1. Menjajah Palestina dengan para buruh perkebunan industri dengan dasar tuntutan kondisi. Ini tentu dengan menghilangkan fakta bahwa Palestina telah didiami oleh masyarakat pribuminya selama ribuan tahun.
2. Memperkuat dan menumbuh kembangkan kesadaran nasional bangsa dan semangatYahudi.
3. Dan yang terakhir, mengambil langkah-langkah pendahuluan untuk mendapatkan pengakuan internasional dalam merealisasikan cita-cita Zionis.

Bangsa Yahudi sebenarnya telah berimigrasi secara perlahan-lahan sejak tahun 1882, namun hal ini (baca: imigrasi) tidak mungkin bisa mewujudkan cita-cita bangsa Yahudi untuk memiliki sebuah negara, mengingat bahwa Palestina telah didiami oleh pribumi selama ribuan tahun. Maka, hal inipun menjadi pelajaran bagi bangsa Yahudi yang kemudian melahirkan inisiatif untuk membentuk suatu badan pelaksana dalam mewujudkan cita-cita.

Imigrasi Yahudi tersebut telah dipelajari oleh konferensi pertama. Kemudian Syapîra merekomendasikan dalam konferensi tersebut untuk membentuk sebuah bank untuk membeli tanah Palestina untuk mewujudkan imperialisme Yahudi, yang mana rekomendasi ini kemudian menjelma menjadi apa yang disebut Bank Yahudi. Namun sayang, Herzl menyanggah rekomendasi ini dan keberatan untuk membentuk sebuah bank Yahudi, tapi keberatan Herzl bukan pada bentuk dari inisiatif tersebut melainkan pada hal waktu saja. Dan pada rentang waktu antara konferensi pertama sampai ke-tiga, lahir beberapa benih aliran Zionis, diantaranya Zionisme Praktis yang dipimpin para pemuka terpercaya Yahudi yang banyak bertentangan dengan aliran Herzl yang dikenal dengan sebutan Zionisme Politis.

Konferensi ke-dua Zionis, diadakan di kota Basl juga pada tahun 1898 dengan tujuan untuk mengumpulkan sekte-sekte Yahudi dari seluruh penjuru dunia dan berupaya untuk meraih dukungan mereka terhadap gerakan Zionis. Ini karena bangsa Yahudi sendiri yang harus mengadopsi pemikiran-pemikiran Zionis dan rencan-rencananya dalam merealisasikan cita-citanya. Konferensi Zionis memperbolehkan satu wakil untuk 400 orang Yahudi yang membayar pajak untuk menghadiri sesi-sesi dan pertemuan-pertemuan. Maka dari itu, Bank Imperial Yahudi didirikan yang menolak imigrasi rahasia ke Palestina dan menyarankan bahwa ini harus diorganisir dan dilakukan secara terbuka di bawah payung apa yang mereka kampanyekan bahwa mereka "tidak berdosa".

Pada Konferensi ke-tiga di kota Basl pada tahun 1899, Bank Imperial Yahudi didirikan dengan nama "Dana Asuransi Kolonialisasi Yahudi (Jewish Insurance Fund of Colonization) dengan maksud untuk mendanai aktifitas pemukiman di Palestina dan negara-negara jiran serta menjamin pelayanan financial bagi Gerakan Zionis. Konferensi ini tidak dihadiri oleh para Zionis Politis aliran Herzl karena alasan  dogmatis. Fungsi Bank ini ditetapkan oleh pendiri Gerakan Zionis sebagai sarana untuk memperoleh segala sesuatu  setelah mereka dianggap "tidak berdosa". Ini dengan menekankan persoalan-persolan utama sebagai aktifitas kultural Yahudi menurut keputusan untuk mendirikan komunitas dengan mempergunakan bahasa Ibrani dalam semua komunikasi dan menyebarkan budaya Ibrani di antara bangsa Yahudi di dunia. Selain itu untuk membangun kembali system administratif Zionis yang permanen dengan maksud untuk menggantikan administrasi yang ada. Begitu juga dengan membagi komite kerja kecil yang dipimpin oleh Herzl.

Konferensi Zionis ke-empat diadakan di kota London pada tahun 1900 yang dihadiri oleh delegasi yang lebih dari 400 orang. Konferensi ini menyaksikan kegentingan konflik yang terjadi antara aliran keagamaan dan aliran sekuler, hal itu terjadi pada saat ditawarkan sebuah masalah-masalah peradaban dan agama untuk dibahas pada konferensi tersebut, dimana beberapa Hâkhôm (rabbi, pendeta Yahudi) mengingatkan Gerakan Zionis untuk tidak ikut campur dalam masalah-masalah peradaban dan keagamaan Yahudi, dan hendaknya aktifitas Gerakan Zionis hanya sebatas kegiatan politik dan tugas imperialisme Yahudi di Palestina. Pada saat itulah Herzl meminta kepada seluruh anggota untuk mengesampingkan konflik sengit yang terjadi antara Yahudi relijius yang Orthodok dan para sekularis. Ia mengharap semua untuk memberikan perhatian yang besar kepada cita-cita dan maslahat kolektif bangsa Yahudi. Pada konferensi ini pula dirancang rencana-rencana perjalanan yang dihasilkan dari pembentukan Bank Yahudi.

Konferensi Zionis ke-lima diadakan di Basl pada Desember tahun 1901 dan masih dipimpinan oleh Theodore Herzl. Pada saat itu, Herzl merayu Sulthân Utsmâny Abdul Hamîd Al-Tsâni untuk mempersilahkan bangsa Yahudi berimigrasi dengan mudah ke Palestina, yang mana pada saat itu Palestina merupakan wilayah imperatur Utsmâniyah. Dan konferensi kali ini, menyutujui usulan Johan Krimings sehubungan dengan pendirian “Bank Yahudi”, dengan konsekuensi bahwa dana yang ada pada Bank Nasional Yahudi tersebut bisa digunakan untuk membeli tanah Palestina dan Syuria.

Kendati demikian mulusnya perjalanan Gerakan Zionisme, bukan berarti tidak ada oposisi. Oposisi di dalam Gerakan Zionisme ini dilakukan oleh Sayap Demokratik yang diketuai oleh Haim Viseman dan Martin Pauper dan lainnya. Dan konflik yang terjadi antara garis relijius dan sekularis meramaikan sebagian besar kesempatan pertemuan. Namun, perpecahan agama, yang dipimpin oleh Hâkhôm Issac Rince, memprotes terhadap konflik radikal dan ilmiah yang sengit terjadi di dalam gerakan. Maka mereka mendirikan Gerakan Zionis lain yang disebut dengan Mezrahi yang tetap menjadi bagian integral dari gerakan induknya yang mengadopsi sebagai besar pemikiran dan kebijakan Herzl.

Konferensi Zionis ke-enam diadakan di Bazl pada Agustus tahun 1903 dipimpin oleh Theodore Herzl dan ini merupakan konferensi terakhir yang dihadiri oleh Herzl. Pada konferensi kali ini, Herzl ditemani oleh politisi Inggris Joseph Tymberlin dalam membahas rencana-rencana imperialisme Zionis di semenanjung Sinai. Hanya saja Inggris tidak setuju dengan ide tersebut dan menawarkan sebuah rencana imperialisme Zionis di Uganda yang kemudian dikenal dengan sebutan “Rencana Timur Afrika”. Herzl sendiri menyarankan untuk menerima usulan tersebut, namun saran itu tidak bisa diterima oleh sebagian kelompok mereka yang lebih memilih Palestina sebagai sasaran imperialisme Zionis Yahudi. Jadi, sebuah ekspedisi dikirim untuk meneliti  situasi di Uganda untuk menentukan kelayakan sebagai sasaran lain selain Palestina, tapi Palestina telah diterima oleh mayoritas. Lain daripada itu, Anglo-Palestina didirikan di Jaffa sebagai cabang dari Departemen Dana Asuransi Yahudi untuk Imperialisme.

Konferensi Zionis ke-tujuh diadakan di Bazl pada Agustus tahun 1905 dengan pimpinan Max Nourdo. Masalah-masalah mendasar yang dibahas pada konferensi ini seputar masalah imperialisme Yahudi di luar Palestina khususnya di Timur Afrika. Beberapa peserta konferensi mempertahankan dan membela usulan Inggris tanpa harus mengenyampingkan gerakan Zionis di Palestina. Pengikut pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Zangwel dengan Organisasi Internasional Regional. Pada sisi lain, absennya Herzl pada konferensi ini, keberatan para imperialis Inggris di Timur Afrika untuk menjajah daerah-daerah imperial Inggris, dan juga keberatan kelompok yang masih berpegang pada cita-cita awal, menguatkan arah pandangan penentang imperialis Yahudi di luar Palestina. Suara mayoritas para peserta konferensi mengakibatkan keluarnya pengikut pandangan regional yang kemudian mendirikan Organisasi Regional Internasional. Akhirnya suara mayoritas kembali menguatkan pandangan tentang pentingnya imperialisme di Palestina. Dari keputusan tersebut kemudian kelompok Zionis Praktis (kolonialisasi) menyusun kekuatan baru untuk menjajah daerah Palestina dengan rencana pembelian tanah dari Arab dan membangun kekuatan ekonomi di dalam Palestina. Ini merupakan suatu hal yang sangat penting sepanjang perjalanan Gerakan Zionis Modern dimana para imigran Yahudi ke-dua (1904 M) tiba di Palestina. Imigrasi tersebut merupakan pondasi kuat bagi imperialisme Zionis dan memberikan kontribusi besar yang kemudian disusul dengan imigrasi ke-tiga. Pada konferensi ini dibahas pula perubahan atau modifikasi pada undang-undang “Dana Asuransi Yahudi untuk Imperialisme” yang diberlakukan untuk memberikan prioritas bagi pembangunan perumahan di Palestina, Syiria, dan di daerah lain seperti Turki wilayah Asia, Semenanjung Sinai dan Cyprus.

Konferensi Zionis XXIII tahun 1951 merupakan konferensi pertama yang diadakan di al-Quds setelah berdirinya Negara Zionis dengan pimpinan Nahom Goldman. Permasalahan mendasar yang diangkat pada konferensi ini seputar hubungan antara Negara Zionis Baru dan Gerakan Zionis yang dibentuk oleh Organisasi Zionis Internasional, dan batas-batas fungsi keduanya untuk menghindari gesekan antara Negara yang terbentuk dan Gerakan Zionis sendiri yang kemudian Pemerintahan Israel mengeluarkan undang-undang mengenai itu semua pada tahun 1952 kepada organisasi terkait yang memberikan hak mengumpulkan dana dari Yahudi Internasional dan memberikan suntikan dana demi kemaslahatan imigrasi bangsa Yahudi ke Israel. Secara tidak langsung semua itu menjadikan Gerakan Zionis memiliki fungsi layaknya sebuah negara yang berkonsentrasi dalam membangun perbaikan yang luas dengan negara lain dan di atas tanah negara lain pula. Konferensi ini juga membahas amandemen terhadap Program Basl dan masih dalam rangka merealisasikan cita-cita utama yang tertuang pada program tersebut yang bisa kita sebut Rencana Pendirian Negara Zionis. Program ini lebih dikenal dengan “Program al-Quds”. Tujuan utama yang diputuskan dalam Program al-Quds pada konferensi ini adalah “Mengumpulkan bangsa Yahudi di negaranya yang bersejarah -tanah Palestin- melalui imigrasi dari berbagai belahan dunia”.

Mungkin tidak juga benar kalau kita mengatakan bahwa pernyataan, "Sebab hidup mengajarkan pada kita bahwa yang 'benar' akan menang" ini kurang tepat. Saya pun sendiri kurang yakin. Sepertinya semakin jauh saya merenungi dan membedakan mana yang salah mana yang benar, semakin sulit saya menentukan mana benar mana salah. Sebab itu semua 'bisa diatur'.

Dan sepertinya, ada yang perlu disinggung. Taukah anda, langkah-langkah apa yang dilakukan Bangsa Arab atau mungkin lebih tepat Ummat Islam, dalam upaya melawan gerakan Zionis? Adakah serapi langkah-langkah mereka? []


Bawwâbah, 12 September 2007



Sumber sebagian besar dikutip dari buku Dr. Abdul Wahab al-Masiry, al-Yahûd al-Yahûdiyyah wa-l-Shahyûniiyyah


Read More......

Friday, August 24, 2007

Dimensi Sang Waktu

Tidak semua yang baik adalah benar
Tidak semua yang benar adalah baik
Tidak semua yang bagus adalah berharga
Tidak semua yang berharga adalah bagus
Kenapa harus seperti ini?
Kenapa harus seperti itu?
Hanya waktu yang bisa bicara
Hingga saat dimana sang waktu dipenggal
Hingga saat ia menghembuskan nafas terakhir
Hai keabadian!
Mengapa kau mengalah pada sang waktu?
Mengapa tidak kau saja yang mendekap manja sang manusia?


Waktu seakan tidak akan pernah berubah mengisi ruang dan mengiringi hidup anak manusia. Terkadang waktu memaksa merubah perjalanan kehidupan seorang manusia seperti halnya ranting kering yang hanyut oleh aliran sungai, kadang terbelokkan oleh sebongkah batu atau oleh tiupan angin lembah tanpa bisa memaksakan kehendak kemana ia harus harus pergi. Dimana air sungai tersebut mengalir dari hilir ke hulu, maka begitu juga dengan waktu. Setiap detak detik, menit dan jam pasti berawal dan akan berakhir. Dan dalam proses untuk menuju akhir menemukan keabadian, manusia akan selalu menghadapi rintangan-rintangan yang tak terduga layaknya sebuah ranting kering tadi yang tak mampu keluar dan melompat dari aliran sungai.

Tak ada yang tercipta sempurna tanpa adanya Sang "Yang Tak Terimajinasikan", sempurna yang terbatas dan nisbi. Manusia dengan kesempurnaannya yang terbatas, tidak akan pernah mampu menaklukkan waktu, menghentikan matahari yang angkuh. Ia tidak akan terbebas dari waktu, sebab ia tercipta bersama waktu, dari waktu, menuju waktu. Hanya manusia yang mampu bercumbu dengan sang waktu, yang bisa menaklukkan hidup meraih kemenangan. Sebab apapun yang dijalani pada dasarnya adalah sama, semuanya bukanlah hal mutlak.

Manusia hanya bisa melekat pasrah pada waktu yang menggelinding di jalurnya sendiri-sendiri. Ada yang melekat pada kegagalan-kegagalan, ada pula yang melekat pada kesuksesan-kesuksesan. Bagi mereka yang melekat pada kesuksesan-kesuksesan, telah meraih kebahagian nisbi semisal harta, khawatir dan takut kebahagian itu hilang. Sebagian dari mereka ada yang "terpaksa" bersyukur pada Tuhannya dan baik pada si miskin, tapi sebenarnya satu yang membuat dia seperti itu, takut Tuhannya murka dan mengambil kebahagiaan itu. Sedangkan mereka yang melekat pada kegagalan-kegagalan, pun tak henti-hentinya berlari dan tersiksa mengejar impian. Namun setelah mendapatkan impian tersebut, mereka juga mungkin akan merasa takut impian itu akan menghilang dari hidupnya. Indah tidaknya waktu yang dijalani, tergantung mana yang lebih dipercaya oleh manusia itu sendiri, apakah waktu statis atau waktu dinamis; Waktu yang pertama kaku, tak dapat ditolak dan telah ditetapkan sebelumnya. Waktu yang kedua meliuk-meliuk, dan bisa mengambil keputusan sekehendak hati. Atau mungkin jika ada yang ingin waktu berjalan lambat terus menerus sehingga wajah cantiknya tidak akan punah dan pudar, dia dapat tinggal di daerah pegunungan karena menurut para ilmuwan -mitos kali ya- waktu akan berjalan semakin lambat jika letak berpijak manusianya menjauh dari pusat bumi, sedangkan pegunungan adalah tempat yang tinggi dan tentunya jauh dari pusat bumi. Gimana nggak awet muda kalo tinggal di pegunungan? Lawong ... anda bebas meneruskan kalimat ini! J

Andaikata manusia dapat memilih ruang waktu dan tidak terjebak dengan kepasrahan, maka dimensi waktu dapat terlihat oleh mereka, seperti kelahiran-kelahiran, pernikahan-pernikahan, kematian-kematian. Beberapa orang merasa takut meninggalkan saat-saat yang membahagiakan. Mereka memilih berlambat-lambat, berjingkat melintasi waktu, mencoba mengakrabi kejadian demi kejadian. Sedangkan yang lain tergesa-gesa berpacu menuju masa depan. Manusia dapat memilih waktu seperti empat buah probabilitas seorang lelaki muda yang hendak bertemu seorang wanita pujaan yang cantik jelita. Probabilitas pertama ia tidak jadi menemui perempuan itu, karena takut ketauan "deg-degan"nya kalo ketemu. Kedua, pria itu menemui si wanita tersebut akan tetapi tidak bisa mengutarakan cintanya, hanya bisa mengatakan "emmm ... anu ... eee ... ". Ketiga ia menemui perempuan itu dan "bercinta" dengannya lalu pergi begitu saja meninggalkan rumahnya. Dan yang terakhir mereka saling mencintai dan hidup bersama. Disamping itu masih terdapat rentetan kemungkinan lain yang dapat terjadi.

Jika benar waktu seperti itu maka tidak ada lagi benar atau salah. Dengan adanya "salah atau benar", mengisyaratkan adanya kebebasan dalam memilih. Dan kalau tiap tindakan telah dipilihkan, maka kebebasan untuk memilih tak mungkin lagi ada. Di dunia dimana masa depan telah pasti, tak seorang pun terbebani tanggung jawab. Ruang-ruang telah diatur sebelumnya. Maka "congratulation!" bagi orang yang merasakan kebebasan, bisa melakukan apa pun yang ia sukai, bebas didalam dunia tanpa kebebasan.

Misteri waktu yang tidak pernah terbantahkan oleh setiap manusia membuat kita seringkali terkukung sesuatu yang absurd oleh nasib dan sesuatu yang banyak orang menyebutnya ketetapan Tuhan, namun seberapa seringkah manusia bertanya maksud Tuhan dari penciptaan waktu tersebut. Cobalah dekati Tuhan untuk bertanya soal waktu. Seorang Einsten pun sebelum menyelesaikan teori relativitasnya sempat berkata pada Besso sahabat karibnya, "Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan.". Betapa hebatnya waktu sampai-sampai Tuhan pun bersumpah demi diri sang waktu. Dan ketetapan disini, tidak bisa kita artikan sebagai keotoriteran Tuhan, bukan ketetapan mutlak layaknya skenario yang dibuat oleh sutradara film, itupun bisa jadi tidak sesuai dengan keinginan sang sutradara. Sebab hanya Tuhan, yang mutlak dan dengan pengetahuan mutlakNya, Ia bisa mengetahui segala apa yang belum terjadi dan akan terjadi. Dan hanya Tuhan yang bisa mengetahui apa yang terbaik. []


Bawwâbah, 16 Agustus 2007


Read More......

Friday, July 13, 2007

Sang "Asketik"

Aforisme laki-laki itu masih terngiang jelas di telingaku. Entah darimana asalnya. Bahkan aku belum tahu namanya. Aku lupa menanyakannya. Ufh...aku benci dengan makhluk yang bernama "penasaran". Dan kali ini, pertama kali aku mendengar sebuah pernyataan yang sepertinya belum pernah diucapkan oleh siapapun. Jarang kita temukan sebuah pernyataan yang asli dari si pengucap. Bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada istilah teks murni dari si penulis, pengucap atau apalah namanya. Sejarah peradaban manusia yang selalu berganti setidaknya telah membuktikan, bahwa sebuah komunitas manusia ketika menginginkan perubahan, ia harus mempelajari komunitas lain secara seksama, bagaimana komunitas itu bisa bangkit. Dan bahwa dalam usaha untuk bangkit, pasti akan kita dapatkan sebuah gerakan "terjemah", dalam upaya mentransfer ilmu pengetahuan sebuah komunitas yang telah melewati masa keemasannya. Maka tak mengherankan, jika banyak para ilmuwan tenar hanya dengan "plagiatisme". Aku sendiri jarang langsung percaya jika ada seseorang dikatakan 'bapak sosial modern', 'bapak filosof modern', atau apalah namanya. Apalagi dalam ruang lingkup pemikiran. Fuih....bosen. Itu-itu saja. Dan herannya, manusia masih asyik saja berbicara tentang itu. Masih pura-pura bingung mengartikan hidup. Masih pura-pura tidak menemukan "Yang Tak Terbatas", yang tak beruang dan tak berwaktu. Jangan-jangan aku sendiri termasuk dalam golongan mereka.

"Saya ada ... karena saya tidak bersama manusia", begitu katanya. Aku berusaha mengklasifikasi pernyataannya. Tentang eksistensi manusia, yaa pasti dia ingin memaknai hidup, ia ingin mengafirmasi keberadaannya. Bagaimana seharusnya kita hidup. Sangat bertolak belakang sekali dengan apa yang sering kita dengar bahwa al-insân madaniyyun bi at-thab'. Manusia tidak akan bisa hidup sendiri, ia butuh manusia lain, sebab ia terbatas dan kebutuhannya tidak bisa tercukupi tanpa bantuan manusia lain. Berbeda dengan ide-ide ilmuwan klasik yang berbicara tentang manusia, bahkan mungkin sampai sekarang. Adalah al-Faraby (870-950 M), ulama moslem dari Turkey, salah seorang yang mengamini sebuah adagium yang menyatakan bahwa manusia butuh manusia lain, saat ia menyusun sebuah teori seputar negara. Begitupula dengan Albert Camus, yang terkenal dengan aforismenya "aku berontak, maka kita ada". Saat ia berbicara tentang kemanusiaan, kesetiakawanan, kebersamaan. Berbeda pula dengan cara Descartes dalam upaya mengafirmasi keberadaannya yang mengatakan "aku berpikir maka aku ada".

"Lah ... bukannya sekarang anda sedang berbicara dengan seorang manusia?", tanyaku ingin mematahkan pernyataannya. Jawabannya benar-benar membuatku naik darah, sebenarnya, tapi aku pikir masih terlalu dini untuk marah, aku belum mengenal jalan pikirannya, jangan-jangan dia gila. Dia mengatakan padaku bahwa dia ingin memastikan ketololan-ketololan manusia yang bisa hidup dengan manusia lain. Dan untuk mengetahuinya, dia harus bercengkrama dengan manusia lain, keluar dari pertapaannya.

"Tidak bersama manusia lain, bukan berarti harus menyendiri ... ", tambahnya dengan nada yang sok filosof. Kemudian dengan perlahan dia melanjutkan kalimatnya. Dia ternyata muak dengan sikap manusia di sekelilingnya, yang sarat kepentingan. Saat ini, telah hilang dari permukaan bumi apa yang dinamakan persaudaraan, kebersamaan, kebebasan, semuanya hanyalah sebuah kamuflase. Tingkah laku manusia benar-benar telah menjadikannya sakit. Dia sempat menyinggung negaraku, bangsaku, bangsa Indonesia. Bangsa yang hobi memakan daging saudaranya sendiri. Bangsa yang suka minum darah saudaranya sendiri. Atau mungkin bangsa Indonesia memang tercipta sebagai bangsa budak sebagaimana dikatakan Pramoedya. Sepertinya memang bangsaku lebih baik dijajah ketimbang merdeka, sebab dengan terjajah, bangsaku melawan penjajah, bangsa asing. Dengan kemerdekaan, bangsaku menjadi terjajah oleh saudaranya dan harus melawan saudaranya sendiri. Kemerdekaan bangsaku hanya dirasakan oleh orang-orang tertentu yang sok memikirkan orang lain. Mereka tertawa di atas tangis saudaranya. Mereka kaya diatas kemiskinan saudaranya. Mereka bahagia diatas resah saudaranya. Mereka bukan manusia. Mereka mengkhianati perjuangan saudaranya. Dan yang lebih menyedihkan, sekarang bangsaku telah melegalkan darah dan daging saudaranya, bahkan telah menjadi makanan pokok. Pantesan...berita seputar KKN dah menjadi berita yang paling membosankan sehingga jarang tak seperti dulu, bukan karena telah punah, tapi karena sudah menjadi legal dan halal.

"Lantas ... yang anda inginkan dari saya?", tanyaku ingin menutup percakapan. Ternyata dia tidak gila, mungkin hanya pengaruh dari kekecewaannya saja. Dia hanya menginginkan aku untuk menjadi manusia seutuhnya. Yang tidak tertawa diatas tangis saudaraku, bangsaku. Yang tidak kaya diatas kemiskinan saudaraku, bangsaku. Yang tidak berfoya-foya di negara orang, sedang saudaraku disana masih banyak yang kelaparan.

"Saya bukan orang kaya, bagaimana saya bisa tertawa diatas penderitaan saudara-saudaraku, apalagi mau berfoya-foya, untuk bayar sewa rumah saja kadang pinjam ... ", jelasku.

"Nak ... saya tidak mengatakan untukmu saja, tapi untuk bangsamu!". Lalu ia pamit, pergi ke arah Giza, entah kemana. []



Read More......

Monday, July 9, 2007

Malam Yang Sepi

Malam ingatkanku pada satu masa dimana aku masih bisa tertawa lepas, tanpa dosa, tanpa beban. Suatu masa dimana segala sesuatu tampak luar biasa. Atau mungkin bisa dikatakan aneh. Dimana banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkelebatan di benakku.

Saat dimana aku selalu menunggu suatu musim mengembangnya pohon rambutan. Bila telah matang, ayahku biasanya memetik untukku, lalu ibuku mengupas dan memamah untukku, agar aku tidak kesulitan mengunyahnya, sebab gigiku kurang bisa diandalkan saat itu.

Saat dimana aku susah dan benci kalo disuruh tidur siang. Pekerjaan tersulit buat ibu mungkin. Setelah pulang sekolah, aku selalu dikarantina dalam kamar, dipeluk biar nggak lari, mata harus terpejam. Sementara pikiranku kemana-mana, yang mau maen perang-perangan lah, benteng-bentengan, kasti, kelereng, dan segala macam permainan yang harus dilakukan bersama, senang bersama, dimarahin ortu juga sama-sama, beda dengan permainan anak-anak jaman sekarang, bisa dilakukan sendiri dan nggak asyik kalo dilakukan bersama-sama. Dan paling sebel kalo dah terlanjur bikin janji ma temen. Janji kan harus ditepati. Eh ... ibu dengan santainya dan dengan muka dibuat sedikit serem, menyuruh aku tidur siang. Maka drama siang bolong harus segera dimulai. Aku harus segera pura-pura tertidur, napas dibuat-buat sampai nampak seperti benar-benar telah tertidur. Drama itu nggak perlu lama-lama aku lakukan, karena sepertinya ibu lebih cape daripada aku, dan lebih membutuhkan tidur siang ketimbang aku. Kalo bukan karena aku, mungkin ibu nggak akan tidur siang, karena masih ada pekerjaan yang harus dilakukan. Aku sangat hapal bagaimana ibu kalo dah benar-benar tertidur. Nah kalo tanda tanda itu dah datang, maka aku segera bangun dan melakukan aktifitas siangku. Bebas.

Saat dimana pertanyaan “nggak belajar?” adalah hal yang sangat aku benci dari ayahku. Biasanya aku menjawab, “nggak da PR!”. Hanya sebatas itu perhatian ayahku untukku. Lumayan demokratis. Nggak terlalu memaksa. Ayahku nggak pernah marah kalau aku nggak belajar. Lain dengan ibuku. Aku selalu dijaga kalau belajar. Nggak boleh di depan TV. Nggak boleh main-main. Nggak boleh ngantuk. Nervous.

Angin kau ingatkan aku
Pada satu cinta
Cinta yang selalu mendekapku erat
Cinta yang membuatku tenang
Cinta yang selalu memberiku semangat
Cinta yang menemaniku menapaki hidup
Cinta yang mengajarkan cinta
Cinta yang benar-benar sejati

Ingatkanku pada satu wajah
Ingatkanku pada sebuah kasih sayang
Cinta yang benar-benar membuatku tak inginkan selain cintanya
Hanya cintanya

Ibu ... selalu doakan anakmu dalam menggapai cita.[]





Read More......

Saturday, June 23, 2007

Suara Aneh*

Oleh: Dr. Qushay Syeikh 'Askar**

Suara-suara itu telah memperdaya aku, bahkan aku sendiri menyangka bahwa aku telah lupa, atau mungkin hanya pura-pura lupa, telah beberapa lama suara itu tak mengganggu alam pikiranku, lalu tiba-tiba ia datang lagi, tanpa sebab, tanpa disangka-sangka.

Raungan itu mengusik tidurku, kemudian suara itu berubah-ubah ... suara macan ... hyena (sejenis serigala) ... lolongan anjing ... aku bisa membedakan suara-suara itu sebagaimana tukang emas membedakan jenis logam. Ketajaman suara-suara itu silih berganti menggetarkan gendang telingaku. Semua itu terjadi sebelum aku bebas, sebelum detik-detik dimana aku tinggal di hotel ini. Sampai saat ini, aku belum tahu dimana sebenarnya aku dulu diasingkan, lebih tepatnya mungkin dibuang. Masih terekam jelas diingatanku, malam Rabu, tiga orang dengan kepala tertutup membawaku ke suatu tempat yang aku tak tahu, tapi entah apa yang terjadi andai saja aku tidak pergi dari sini? -Aku tidak menyesal-. Mereka menghempaskan aku ke dalam mobil hitam, lalu dua orang diantara mereka menutup mataku dengan kain, aku duduk bertinggung dengan tangan terikat. Lalu tiba-tiba, bermacam binatang buas menghampiriku dari tempat persembunyiannya. Sekarang, setelah 25 tahun, suara-suaru itu kembali mengusikku.

Begitulah, tiba-tiba, tanpa sebab, justru dengan ketenangan dan kesunyian yang ada di pulau kecil ini, malah menyuburkan memoriku, membuat suara-suara aneh itu kembali menghampiriku dari persembunyiannya.

Pada mulanya, raungan terdengar lama di telingaku, persis seperti yang aku dengar di masa silam, aku mengerti, mereka membuangku untuk santapan binatang buas. Lalu suara itu berubah menjadi lolongan anjing, serigala, aku hampir bernafas dengan suara-suara itu dan dengan baunya yang tidak sedap, aku merasa mual. Aku melapor ke penjaga hotel, aku menginginkan kamar yang tenang. Ia membawaku ke kamar lebih luas dengan balkon yang memiliki pemandangan alam bebas, luas. Sebuah kamar yang mirip dengan rumah sakit, aku tidak bermimpi, dan yang lebih penting, bahwa aku lari dengan melewati perjalanan panjang. Dua puluh lima tahun, dengan ribuan mil, yaa ... aku yakin, suara-suara itu nggak akan kembali mengusik pada sisa-sisa hidupku. Dulu saja, ketika mataku ditutup kain, dengan tangan terikat, dan aku merasakan lidah-lidah binatang buas menjilati wajahku, aku tidak kehilangan apapun dari tubuhku, satu yang membuatku bertanya-tanya, kenapa suara itu kembali lagi secara tiba-tiba, tanpa sebab, setelah waktu yang cukup lama?

Aku pergi berkonsultasi kepada dokter yang berumur antara 30-40 tahun, mengatakan padaku bahwa kebebasan yang aku temukan setelah pelarianku, membuatku terlepas secara perlahan dari sesuatu yang paling terdalam dari hidupku. Sekarang, aku benar-benar seperti orang yang sedang bermimpi, terlepas dari segala macam ikatan dan aturan, malam nanti aku pasti akan segera tidur, setelah semalam aku tidak bisa tertidur. Satu hal yang membuatku tenang, dokter tidak memberiku resep obat untuk dikonsumsi. Sebenarnya sih, aku tidak menceritakan padanya tentang suara-suara yang sering mengganggu tidurku selama ini. Padahal, malam tadi selepas maghrib, suara-suara itu masih mengusikku.

Aku belum meninggalkan hotel, malam ini sebelum tidur, aku berusaha menenangkan jiwa, menyibukkan diri dengan menghitung dari seribu sampai satu. Baru beberapa nomer saja, suara-suaru itu kembali menghampiriku, atau mungkin aku hanya menyangka suara itu mirip dengan lolongan anjing, lalu aku tertidur dan terjaga berkali-kali.

Sudah tiga hari aku tinggal di pulau ini dan belum menemukan pemandu tour. Suara-suara yang mengusik telinga dan menjilat wajahku dengan lidah-lidahnya yang kasar itu benar-benar mengganggu jiwaku, dan membuatku terpaksa harus menghabiskan sebagian besar waktuku dengan berdiam diri di kamar hotel, kecuali saat-saat aku harus berjalan-jalan ke tempat umum, atau bersantai di sebuah kafe.

Ketika pelayan hotel datang ke kamar membawa sarapan, aku bertanya tentang pemandu tour terdekat dari sini, ia menunjuk ke arah belakang balkon, diikuti dengan senyum lembutnya, membuat wajahnya yang bulat tambah bersinar, "anda tidak perlu menyewa mobil untuk pergi kesana, itu dibelakang bukit yang dikelilingi pepohonan, lima menit dari sini dengan berjalan kaki". Kemudian ia membawa meja ke balkon untuk menyingkap tirai agar aku bisa melihat bukit lebih jelas, ia menambahkan, "Binatang-binatang yang ada disana, didatangkan dari Afrika oleh kakek-kakek kami di masa penjajahan, untuk menyaksikan pergulatan manusia mempertahankan hidup melawan keganasan binatang-binatang itu. Dan agar pelanggan kami tidak terganggu dengan suara-suara itu, kami buat kaca-kaca jendela setebal mungkin agar suara-suara binatang itu tidak mengganggu pelanggan kami.

Semuanya jelas bagiku, hanya karena aku tidak menutup jendela kamar, kalaulah ditutup, suara-suara itu sebenarnya tidak akan pernah terdengar. Mataku tetap tertuju menatap bukit di belakang balkon, pelayan terus bercerita tentang bukit dan binatang-binatang itu, ia sendiri tak habis pikir, sebab orang-orang yang dilemparkan ke bukit itu sebagai mangsa binatang-binatang buas, bisa selamat, padahal mata mereka tertutup dan tangan mereka terikat, diantara mereka ada yang selamat dengan perlawanan, ada pula yang hanya beruntung, tanpa sebab, tanpa usaha untuk melawan.

Aku tak bernafsu untuk sarapan pagi ini, aku tinggalkan semuanya di atas talam, aku ganti pakaian tergesa-gesa, turun melewati tangga, keluar hotel menuju bukit, aku ingin melihat binatang-binatang buas yang dulu dengan lidah-lidah kasarnya menjilati wajahku dengan mata tertutup. []

_________________
* Terjemahan bebas oleh Dantey dari rubrik "Qisshah" majalah bulanan el-'Araby.
** Cerpenis Iraq berdomisili di London.

Read More......

Tuesday, June 19, 2007

“Prostitusi” yang Dihalalkan

Biasanya saya memulai sebuah tulisan tanpa harus memberi judul terlebih dahulu, terlebih jika saya akan menulis sebuah refleksi dari realita, terhadap hidup saya sendiri atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan saya, hanya saja kebetulan menclok dalam perjalanan hidup saya.

Pria Mesir itu ternyata memang benar-benar belum menikah. Sebelumnya saya pernah mendengar sih dari beberapa teman bahwa Gada’ (nama samaran) ingin menikah dengan orang Indo. Hari itu, merupakan pertama kalinya saya ngobrol sama Gada’ sekitar 5 jam-an. Dan dia bukan orang Mesir pertama yang menyampaikan kepada saya kekecewaan terhadap beberapa adat tanah kelahirannya.

Spontan saya teringat Bang Dede. Gimana kabar Tunisia?:). Tiga tahun yang lalu, ketika saya masih belum tahu banyak tentang Mesir, dia pernah cerita tentang “Lika-liku Laki-laki tak Laku-laku”. Menarik sekali penuturannya, saya senang mendengar cara dia menyampaikan sebuah cerita. Sekarang, saya benar-benar bertemu dan bercengkrama dengan pelaku realita.

Awalnya kami (saya dan Gada’) hanya ngobrol basa-basi. Terlebih saya termasuk orang yang nggak enjoy ngobrol sama orang Mesir. Entah apa yang membuat dia tiba-tiba menyampaikan keinginannya menikah dengan orang Indo. Katanya sih, dia suka cara hidup orang Indo, mulai dari cara berpakaian, cara makan, cara menerima tamu. Menurut saya sih, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Tapi akhirnya, dia menyampaikan juga alasan yang membuat dia belum menikah sampai sekarang, sampai dia berumur 40 tahun, sampai rambut dan jenggotnya banyak dihiasi warna putih, sudah pantas dipanggil kakek. Nikah di Mesir bukan untuk orang menengah ke bawah. Maharnya saja bisa mencapai seratus juta rupiah, flat beserta isinya sebagai mahar yang tidak bisa tidak, dan mobil sebagai mahar tambahan. Gada’ tidak bisa menikah, sebab dia tidak bisa membeli flat sebagai mahar. Adat menikah di Mesir memang benar-benar konsep yang jauh dari rasa memiliki. Mirip sekali dengan konsep “jajan”, kalo mau silahkan bayar, silahkan rasakan, silahkan pergi. Bedanya disini, setelah merasakan nggak boleh pergi.

Adat tersebut sempat mengalami perubahan. Sekarang, pria mesir boleh menikah dengan mahar yang dicicil dengan waktu tenggang yang disepakati bersama, dan jika dalam waktu tenggang tersebut si pengantin pria belum bisa melunasi mahar, ayah dari pengantin wanita memaksa sang menantu untuk menceraikan anaknya. Sampai segitunya:(.

Sangat bertolak belakang sekali dengan konsep menikah ala Indo. Dengan perangkat alat sholat pun, jadi. Rumah urusan belakang, bahkan tidak sedikit pengantin yang tinggal satu atap dengan mertua. Sampai-sampai kebablasan. Tanpa mahar, tanpa akad, asal sudah saling “mencintai”, muda mudi bisa main sulap, dua orang jadi tiga, keren kan? Mungkin itu salah satu, penyebab Gada’ ingin menikah dengan orang Indo. Tidak memerlukan modal banyak untuk menikah, mudah dan murah.

Saya sendiri tidak ingin, adat menikah Indo dipandang murah. Saya katakan padanya, mahar di Indo memang sangat murah, sebab ada unsur dan syarat yang tidak bisa dihargai oleh materi. Tanggungjawab, ketulusan dan kesetiaan. Dan secara esensial, menikah dengan orang Indo, lebih mahal dibanding menikah dengan orang mesir.

***

“Mâ min ‘Âmin illa wa qad khusshisha”. Coretan saya diatas, tidak berarti umum. Tidak semua orang mesir yang menikahkan anaknya, mengharuskan sang menantu membayar mahar segitu mahalnya. Begitu pula di Indo, tidak semua orang menikah hanya dengan mahar perangkat alat shalat. Ada pula yang menganut konsep materialistis, dengan memakai topeng cinta. Cinta yang berdasarkan materi, jabatan, keturunan. Dan tidak sedikit orang tua yang mempraktekkan “prostitusi” yang dihalalkan terhadap anak putrinya.

“Allâhumma innî asaluka khair-l-hayât”. []



Bawwâbah, 19 Juni 2007


Read More......

Monday, June 18, 2007

Entahlah!

Tiba-tiba perutku mulas ketika menerima lipatan kertas itu. Merinding. Hawa ghaib seakan menyelimuti sekelilingku. Sepertinya, kertas itu memang benar-benar memiliki kekuatan. “Bawa ini kemanapun kamu pergi, Insya Allah selamat dan selalu aman!”, pesan temanku saat memberikan kertas itu. Perutku tambah mulas saat mendengar kata-kata aneh. Sepertinya sih bahasa Arab. Mungkin mantra keselamatan.

Sejak saat itu. Aku selalu merinding setiap melihat, mendengar apapun yang berbau arab. Apalagi kalau ada tetanggaku yang meninggal. Selama tujuh hari tujuh malam nggak bisa tidur. Sebab, selepas matahari terbenam, para tetangga berkumpul di kediaman keluarga yang sedang berduka, tentunya aku juga. Lalu kita membaca entahlah, aku nggak faham, katanya bahasa arab. Mungkin sudah menjadi adat setiap ada yang meninggal. Sedikit yang aku tau, apa yang di baca bersama, dihadiahkan kepada sang mayit. Penyelamat katanya.

“Eh Dan, kamu tahu Kyai Gala? Dia tuh bisa ada di banyak tempat dalam satu waktu, bisa ngilang, bisa terbang, dibacok nggak mempan. Kamu pengen seperti dia?”, kata temanku suatu hari dalam waktu senggangku.

“Dia orang Islam ya?”, tanyaku yang aku sendiri nggak tau kenapa nanya githu.

“Lha iya lah Dan, namanya aja kyai. Caranya gampang, ....... “. Temanku menyebutkan syarat-syarat yang nggak sedikit tanpa menghiraukan kalau aku nggak berminat sama sekali. Sebab hanya merinding yang aku rasakan. Perutku mulas.

***

Apa benar Islam mengajarkan itu semua?
Apa benar Islam hanya sebatas adzan, shalat, “tahlil”, haji, kuburan?
Apa benar Quran hanyalah sebuah mantra-mantra penyelamat?
Apa benar kita akan selamat hanya dengan “membaca Quran”?
Apakah Quran hanya sebatas pengusir syetan?
Apakah Quran hanya sebatas ... entahlah!!! Aneh!!!



Read More......

Saturday, June 16, 2007

Bukan Sekedar Mantra

“Surely in the creation of the heavens and the earth, in the disparity of the night and day, in the ships that course in the sea with that which benefits people, in the water that Allah sends down from the sky, reviving with in the earth after it was barren, in His spreading in it all kinds of living things, in the changing of the winds and the subjected clouds between the sky and the earth, indeed are Signs for people who have understanding.” (al-Baqarah: 164)

***

“Saya menemukan kehadiran Islam di Barat tanpa kehadiran muslimin. Dan saya tidak menemukan Islam di Timur dengan kehadiran muslimin.” (Muhammad Abduh)

***

Sengaja saya sandingkan salah satu ayat yang berbicara tentang tanda-tanda kekuasaan tuhan, dengan statement seorang pembaharu Islam, penggagas gerakan modernisme Islam. Muhammad Abduh. Sebab, realita Islam yang terjadi sekarang, benar-benar semakin menguatkan pemikiran Abduh 100 tahun yang lalu.

Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khairullah, dilahirkan pada tahun 1849 Masehi bersamaan dengan 1265 Hijrah di Kampung Mahallat Nasr, Mukim Sujubrakhit, Daerah Buhairah, Mesir. Pernah diasingkan selama 6 tahun pada 1882 karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Libanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersama al-Afghani (seorang filosof dan pembaharu yang mengusung gerakan menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika) menerbitkan jurnal Islam “The Firmest Bond”. Beliau belajar filsafat dan logika di Universitas al-Azhar, Kairo.

Sobat, pernahkan kita berpikir seperti halnya Abduh menilai sebuah realita? Pernahkan kita bertanya-tanya, adakah Islam mengajarkan kita untuk memperhatikan alam semesta ini? Kenapa rahasia alam semesta ini bukan kita yang mengungkap. Ataukah kita, hanya menganggap Kitab Suci al-Quran hanya sebatas mantra. Al-Quran hanya sebatas bacaan untuk orang mati. Entah siapa yang pertama kali mengartikan bahwa kata “membaca”, hanyalah membaca. A adalah A, B adalah B, tanpa harus mengerti arti dari apa yang dibaca. Ternyata di dunia ini, ada sebuah agama yang memiliki Kitab Suci yang tidak memiliki makna. Sebab Kitab Suci tersebut hanyalah sebuah mantra.

Mari kita sama-sama menguak salah satu perintah Sang Maha Sempurna, untuk memperhatikan alam semesta. Pada ayat 164 al-Baqarah, Tuhan mengisyaratkan pada manusia bahwa pada penciptaan langit dan bumi adalah salah satu tanda kekuasaan-Nya bagi “orang-orang yang berpikir”. Kita semua tahu, siapa yang pertama kali berhasil menginjakkan kakinya ke bulan. Tiga puluh delapan tahun lalu, tepatnya 20 Juli 1969, Neil Amstrong dan rekannya Edwin Aldrin telah mencatat pertistiwa terbesar sepanjang sejarah perjalanan Amerika. Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran itu semua, paling tidak mereka telah berusaha untuk bisa membuktikan bahwa alam semesta ini memang benar-benar penciptaan yang spektakuler. Terlepas pula apakah semua itu hanyalah sebatas kepentingan politik Pemerintah Amerika untuk dunia atau kepentingan apalah namanya. Dan sepertinya saya tidak perlu menyebutkan satu persatu, keberhasilan Barat dalam menemukan hal baru dalam mengukir sejarah perjalanan hidup manusia. Kemampuan mereka benar-benar nyaris membuktikan kebenaran sebuah wacana bahwa, hanya Baratlah yang memiliki kemampuan menemukan hal baru “al-Ibda’”.

Sobat, dunia saat ini masih sedang sibuk menguak rahasia-rahasia alam. Kenapa kita malah sibuk ingin merubah agama kita, masih berbicara rekonstruksi, dekonstruksi, tawaran syari’at progressif, syari’at yang merahmati. Masih ingin membuktikan bahwa agama adalah candu. Masih baru ingin mengikuti jejak Eropa yang maju setelah melepaskan kehidupan mereka dari agama. Sobat, agama Islam bukan agama Kristen, bukan agama Yahudi. Dan kenapa kita masih hobi menghadirkan sebuah drama perjalanan sejarah Islam, dengan tampilan yang berbeda. Saling kafir mengkafirkan, saling merasa benar. Itu semua sudah sering dialami oleh Islam.

Bravo bagi sobat muslim yang sibuk menguak rahasia alam dan bergelut dalam dunia teknologi.

[Bawwabah, 14 Juni 2007]


Read More......

Saturday, June 9, 2007

Mekarlah Bungaku


kau datang dengan air mata
inginkan sesuatu
sesuatu yang tak bisa dinilai
sebab tak mungkin dimiliki
dengan tangis
saat kau belum mengerti
dan mungkin juga aku
dengan tangis
tidak untuk dirimu
saat kau masih berbicara cinta
berbeda tentunya dengan bahasa manusia
kau inginkan sebuah kasih sayang
dengan tangis
tidak semestinya kau memperoleh
dari kami yang tak mengerti
apa yang terjadi
sedang kau belum mengenal matahari
hanya gelap dan air mata
“Tidak, aku berhak!”
mungkin itu yang kau maksud
tentunya dengan tangismu
dan bahasa matamu
setelah kau bertambah umur
kau datang dan menanyakan kembali
adakah kasih sayang itu
kini, kau telah mengenal malam dan siang
beranjak dewasa
kau hiasi hidupmu dengan gelak dan tawa
sesekali dengan perih
tapi tak pernah kutemui lagi air mata itu
tangismu … bahasamu
kau tumbuh sebagai manusia tegar
tanpa tangis meski saat kau harus menangis
telah kau dapatkan kasih sayang itu
dari kami, dariku
mekarlah bungaku, adikku!
hiasi hidupmu, hidup ini penuh warna
Bawwabah, 3 Feb 2007

Read More......

Saturday, June 2, 2007

Episode Jalur Terbang


[Sebuah Perjalanan][1]


Aku pernah memiliki keinginan menjadi penerbang ulung. Bulu-buluku terbuat dari sebuah zat yang disebut keratin, layaknya burung-burung yang lain. Bukan hanya itu, bulu-bulukupun memiliki ratusan duri kecil yang tumbuh di tiap sisi ruas. Duri-duri yang memberikan bentuk aerodinamik pada burung. Dan juga memiliki barbula
[2]. Tidak berbeda dengan burung-burung yang lain. Itupun setelah melewati meditasi selama kurang lebih 6 tahun.

Aku sering terbang bersama sahabat-sahabatku. Diantara kami yang bisa mencapai ketinggian dan jarak tempuh lebih dari yang lain, dialah pemenang. Aku bukanlah burung yang memiliki alat terbang lebih unggul dari yang lain, alat terbangku bisa dikatakan lebih payah ketimbang teman-temanku yang lain, bahkan guru –terbang-ku pernah mengatakan bahwa aku bukanlah burung penakluk, aku tidak akan bisa mengimbangi burung lain, karena bulu-buluku tidak terlatih untuk menaklukkan ketinggian, meski terbuat dari bahan yang sama. Aku kurang mengerti apa yang dimaksud guruku. Aku tetap bersi keras untuk terbang bersama kawan-kawanku, yang –mungkin- hanya untuk mendapatkan gelar –yang terbaik-.

Mengikuti kelompok terbang tersebut, ternyata harus melewati sebuah seleksi. Aku dinyatakan tidak berhak mengikuti mereka. Alat terbangku tidak layak digunakan sebagai alat penakluk ketinggian. Aku harus kembali bermeditasi selama kurang lebih 6 bulan, itupun kalau aku mampu. Setelah 6 bulan, aku akan diuji kelayakan lagi, jika masih belum layak, maka out, dan gelarku sebagai burung akan dicopot. Fuih ... lumayan, masih mending daripada meditasiku untuk mendapatkan keratin dan barbula selama 6 tahun.

Tantangan yang membuatku lebih menegakkan kepala. Aku tidak mau diremehkan. Harga diri harus tetap dipertahankan. Aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku bisa menaklukkan ketinggian.

6 bulan terlewati. Aku diuji kembali. Surprise. Aku dinyatakan layak. Bahkan aku dikelompokkan dalam beberapa jenis burung yang bisa mencapai jarak 20.000 kilometer, yaa ... setengah jarak keliling bumi, memang wajar kalau kami belum bisa mencapai 40.000 kilometer, karena kami baru saja beranjak dewasa, dan belum pernah membelah samudera dalam jalur terbang kami. Kelompok tersebut adalah kelompok yang memiliki berat kerangka 4% sampai 7% dari seluruh berat tubuh, dan kebetulan berat kerangka tubuhku 4,9% dari berat tubuh, lebih berat sedikit dari kerangka burung merpati yang beratnya sekitar 4,4% dari berat tubuh. Entah apa yang membuatku dimasukkan dalam kelompok ini, padahal aku belum pernah mencoba terbang lebih dari 600 kilometer. Dan saat itu, jarak tersebut adalah terjauh bagiku, aku tidak akan mampu terbang lebih jauh lagi, karena aku tidak sanggup jauh terpisah dari ibuku. Entah kenapa, dada rasanya sesak kalau jauh darinya, atau mungkin aku dan ibuku adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Dua raga dengan satu hati dan jiwa.

Tengtengteeng ... episode baru dalam hidupku dimulai. Banyak hal baru yang akan aku temui. Aku akan menempuh jarak 20.000 kilometer. Bersama teman-temanku. Sebelum kami memulai, pemimpin kami berpesan, “Di depan kalian, terdapat ribuan tantangan, kita akan istirahat setiap menempuh jarak 3.333 kilometer, maka kita akan istirahat sebanyak 6 kali sampai menempuh 20.000 kilometer. Dan di setiap peristirahatan, kalian akan diuji kelayakan apakah kalian masih mampu melanjutkan perjalanan selanjutnya. Seminggu lagi kita akan memulai, esok kalian akan diuji”. Malamnya, kata-kata sang pemimpin terngiang dalam lamunku. Aku berpikir, apa kira-kira tujuan semuanya, terlebih bagi mereka nantinya yang mampu meraih gelar -yang terbaik- diujung setengah perjalan kami.

Keesokan harinya. Sang pemimpin kembali memberi pesan sebelum kami diuji kelayakan, “Dalam perjalanan kalian, kalian tidak akan mendapatkan apa yang sebenarnya kalian inginkan, tapi kalian akan mendapat kunci untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan”. Pertanyaanku semalam, secara tidak langsung telah terjawab. Seolah sang pemimpin mengerti dan bisa membaca jalan pikiran para pengikutnya. Lalu, ujian dimulai.

Seminggu kemudian. Kurang lebih 50 kelompok burung berkumpul. Setiap kelompok terdiri dari 40 ekor. Kami, aku dan teman-temanku, akan kembali dikelompokkan dengan kelompok baru hasil ujian minggu lalu. Aku termasuk mereka yang beruntung. Aku termasuk burung-burung yang layak menempuh 20.000 kilometer. Hanya 600 dari kurang lebih 2000 burung yang dinyatakan layak menempuh jarak tersebut. Aku bercericit riang mendengar itu semua. Perjuanganku tidak sia-sia. Perjuangan yang harus sering menahan sesaknya dada karena jauh dari ibuku, membuahkan hasil. Ibuku pasti akan bahagia mendengar setitik keberhasilan dalam perjalanan hidupku. Dan lagi, aku dikelompokkan bersama burung-burung yang tidak perlu menempuh 20.000 kilometer untuk mendapatkan kunci, entah kunci yang bagaimana. Kelompok yang tidak perlu menempuh 3.333 kilometer pertama. Ya, aku hanya perlu menempuh jarak 16.667 kilometer untuk mendapatkan kunci tersebut. Tentunya hanya membutuhkan waktu lebih sedikit. Perjalananpun dimulai.

Pada jarak 9.500 kilometer, setelah dua kali peristirahatan, aku berhasil menempati urutan kedua dari kelompokku dan dari 600 burung yang lain. Yiehaa ... aku benar-benar mampu. Dan aku akan benar menjadi penerbang ulung. Penerbang yang “kemana-mana”. Aku yakin, 3.333 kilometer selanjutnya aku akan mampu menjadi yang terbaik dari 600 burung. Itu artinya, aku memiliki harapan untuk menandingi kecepatan terbang jenis Hirundapus Giganteus, yang kononnya adalah termasuk jenis burung yang terbang paling tercepat di dunia. Dan nyaris benar, setelah mendekati peristirahatan ketiga, aku tetap bisa mempertahankan urutan keduaku. Keyakinanku bertambah. Aku benar-benar akan menjadi yang terbaik pada putaran selanjutnya. Tapi sayang, 3000 kilometer selanjutnya, aku tetap pada urutan kedua. Ternyata, -yang terbaik- diantara kami terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Aku gagal.

Tiba pada peristirahatan keempat. Aku mulai merasa jenuh dengan perjalanan. Bosan. Ada sisi lain dalam hidupku yang tak terpikirkan, aku merasa salah jalan. Aku ingin kembali. Aku tidak ingin melanjutkan perjalanan. Aku merasa, keinginanku menjadi yang terbaik, membuatku memikirkan diri sendiri. Aku menjadi egois. Dalam peristirahatanku, aku menjadi lebih termenung dan terdiam. Ada sisi lain yang belum aku pelajari untuk menjadi burung yang seutuhnya. Aku tidak lagi ingin menjadi yang terbaik dalam perjalanan tersebut. Aku ingin belajar memahami sekelilingku, aku ingin belajar tidak hanya memikirkan diri sendiri, aku ingin menjadi bagian denyut nadi sang alam. Selanjutnya, alam pikiranku menjadi tidak menentu, dan semakin kehilangan arah, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Suatu hari, aku terkejut dan terpana melihat seekor burung yang sedang bercanda dan bernyanyi-nyanyi bersama kelompoknya. Entah apa yang membuat degup jantungku menjadi lebih cepat. Setelah aku bertanya-tanya kepada beberapa temanku, ternyata mereka adalah salah satu jenis burung air, Gallinula Chloropus. Susah ditemukan alasannya, mengapa aku tertarik. Selanjutnya, hari-hariku menjadi penuh dengan bayangnya. Aku benci.

Putaran ke-empat dimulai. Aku tidak lagi semangat seperti pada putaran sebelumnya. Aku terbang tidak secepat sebelumnya. Jiwaku menjadi tak menentu. Ketidak tentuan arah pikiran dan jiwaku sepertinya membawa dampak lain pada alat terbangku. Keteraturan yang ada pada otot-otot ketika terbang, mulai tidak menentu. Kerutan supracoracoideus (otot dada kecil) saat sayap terangkat tidak lagi maksimal. Begitupun sebaliknya, pada saat sayap diturunkan, pectoralis major (otot dada besar) tidak mengendur maksimal. Itu semua menjadikan kecepatan terbangku tidak seperti sebelumnya. Aku nyaris terjatuh.

Dan akhirnya terbukti. Pada akhir putaran ke-empat, aku tidak lagi berada pada urutan ke-dua. Di kelompokku sendiri, aku berada pada urutan terakhir, bagaimanan tidak, kelompokku adalah mereka yang berada pada urutan 1-40, dan sekarang aku berada pada urutan ke 55. Jangankan di kelompokku, pada kelompok dua pun aku bukan pada urutan pertama. Aku benar-benar bukan aku yang dulu, aku yang ingin menjadi yang terbaik. Tapi sepertinya aku masih ingin menjadi yang terbaik, dari sisi hidup yang lain, menjadi aku sendiri. Bukan untuk menjadi orang lain.

Pada perjalanan selanjutnya, aku tidak lagi terbang bersama kelompok pertama. Itu berarti, untuk menjadi yang terbaik, aku harus mengembalikan keteraturan sistem terbangku dan menghapus bayangan seekor burung Gallinula Chloropus. Dan aku harus bisa mengembalikan kemampuanku.

Singkat cerita. Aku berhasil menempati urutan 10 burung pertama. Tapi hal tersebut tidak membuatku gembira. Justru lebih membuatku sering termenung. Ya, aku tidak bisa lagi terbang secepat dulu. Aku berada pada persimpangan jalan. Aku tidak mampu menentukan arah jalur terbangku selanjutnya. Aku terpuruk. Kemampuanku menempuh jarak 20.000 kilometer tidak membuatku mampu menentukan arah. Lalu entah apa selanjutnya yang membuatku kemudian menentukan arah untuk terbang menaklukkan samudera menuju utara dari tanah kelahiranku.

Memori itu masih kuat melekat dalam pikiranku. Tapi realita memaksaku hidup pada hari ini, detik ini, bukan pada masa lalu. Aku kembali menjelma sebagai manusia. [June, 02 2007]

____________________
[1] Terima kasih ibu, yang selalu setia menemani perjalanan hidupku. Yang selalu membantu aku terjaga dari keterpurukan.

[2] Helain halus pada duri kecil yang tumbuh di tiap ruas pada bulu burung.

Read More......

Sang Harapan

Selamat datang di dunia kedua sang manusia, adek kecil. Meski aku belum pernah menyaksikan langsung saat-saat dimana kau tertawa riang, tanpa beban. Bagaimana kau menangis kehausan karena panasnya alam baru yang kau kenal. Bagaimana engkau tertidur lelap, setelah tiap beberapa jam kau mempelajari sekelilingmu, mencari makna semuanya. Tapi kau selalu hadir dalam sanubariku, dalam doaku.

Meski saat ini, kau belum mengenal bahasa manusia. Aku yakin, kau telah mengenal bahasa cinta. Cinta yang benar-benar sejati. Cinta yang akan membuatmu tegar, kuat, siap menantang hidup. Tetaplah kau perhatikan tiap fenomena di sekelilingmu, simpanlah dalam sanubarimu, kau harus menjadi manusia tegar. Kau adalah harapan.

Jadilah seperti Saddam, singa padang pasir, yang selalu menjadi singa kapanpun dan dimanapun. Saddam yang tetap singa hingga saat berhadapan dengan tiang gantung. Demi martabat dan kehormatan sebuah bangsa.

Jadilah seperti Zaid bin Tsabit, yang tekun, sehingga bisa menguasai bahasa asing dengan waktu yang sangat singkat.

Adek! Hidup ini penuh teka-teki. Hidup ini bukan kita yang inginkan. Bukan kita yang memiliki niatan untuk hidup. Hidup ini adalah amanah. Kita harus jalankan hidup ini dengan kepala tegak. Setiap kita telah memiliki tugas masing-masing. Hanya kita yang bisa menjadikan hidup kita menjadi benar-benar ada.


[ Firja, cepet gede ya! ;) ]


Bawwâbah, di awal 2007


Read More......

Saturday, April 14, 2007

Jangan Sampe Deh


“Menurut kamu cinta tuh gimana Dan?”

Ufh...aku kira temenku satu ini, ngajak pergi ke pinggiran Nil untuk ngobrolin apaa githu? Eh nggak taunya. Nggak disangka-sangka lagi, pertanyaan itu bisa muncul dari mulut “nggak banget” dia yang biasanya dingin ama yang namanya kaum hawa. Biasanya dia tuh selalu nyebut-nyebut Dan Brown si penulis Da Vinci Code yang best seller itu. Sampe aku eneg ngedengernya. Kadang juga ngobrol tentang Fatima Mernissi si pejuang feminis Maroko. Yang menurutnya, berkat jasa dialah batas-batas tembok harem bisa di luluh lantakkan. Harem adalah variasi kecil dari kata harâm (yang dilarang), harem adalah tempat dimana sebuah keluarga menempatkan beberapa istri, anak-anak, dan saudara-saudara perempuannya. Dan tentunya mereka tidak bisa setiap waktu keluar dari tempat tersebut, kecuali ke tempat tertentu, itupun harus memakai hijab tradisional (sebuah kain katun putih berbentuk segi empat yang begitu berat sehingga membuat si pemakai susah bernapas) dan haik, atau jellaba. Itu Maroko dulu. Dan kita kalo dah cerita tentang yang satu ini, biasanya kita sama-sama mencoba untuk terbang menembus waktu pergi ke jaman dimana Mernissi menceritakan bagian kehidupan Maroko di pertengahan abad 20. Tentunya kita menjelma menjadi orang Maroko, dimana banyak kaum lelaki yang memiliki banyak istri. Ternyata nggak enak.

“Hei...ngelamun! Jawab pertanyaanku!”, kelamaan mikirnya kali ya aku, lagian sih dia nanya yang nggak disangka-sangka.

“Hehe...Baru putus cinta ya?”, sengaja aku bertanya model githu, biasanya cowok paling nggak suka kalo dibilang putus cinta, maunya dibilang mutusin, bukan diputus. Nah kalo ditanya githu, tentunya dia ngerasa nggak enjoy lagi ngobrol begituan, so bisa ganti topik.

“Emang kamu pernah nemuin tanda-tanda aku jatuh cinta Dan?”, wah sepertinya Jaka pengen nyebarin virus neh. Virus “life without love”. Sepertinya sih, sebab sedikit yang aku tahu, dia tuh anti banget yang namanya cewek. Padahal dia nggak jelek-jelek amat, lumayan berada lagi. Malah bisa dibilang tiap cewek yang ketemu ma dia, bisa langsung klepek-klepek. Sifat dinginnya bukan berarti dia nggak laku, tapi entahlah mengapa. Mungkin malam ini aku tahu jawabannya.

“Yaa...enggak sih. Tapi ntar dulu, kamu kenapa ngajak aku ngobrolin beginian, padahal kamu juga tahu sendiri kalo aku nggak banyak tau tentang itu, aku juga nggak jauh beda ama kamu, dingin ama cewek, cuman bedanya, dinginnya aku ama dinginnya kamu beda, bedanya kalau aku dingin ama cewek, karena dah yakin kalo banyak ditolaknya, udah wajah jauh dari ganteng, kere, nggak da yang bisa dibanggain lagi. Jadi normal kalo aku dingin ama cewek. Kalo kamu...wah tuh dia yang aku nggak tau Jak, emang napa sih, kamu dingin ma cewek?”, males berbelit-belit, langsung to the point aja deh. Biar langsung tau jawabannya.

“Sok dingin.... Kamu percaya nggak Dan, kalo aku bisa hidup tanpa cinta?”, wah bener deh, dia kayaknya pengen aku ngedukung jargonnya neh, seperti dia yakin kalo aku satu spesies ma dia. Maksudnya spesies yang bisa hidup tanpa cinta, bukan spesies yang bukan-bukan.

“Cinta tuh bikin hidup kita nggak abadi. Cinta bikin hidup jadi cengeng. Cinta bikin hidup jadi sempit. Cinta bikin hidup jadi sengsara. Cinta bikin hidup jadi singkat. Cinta bukan segalanya untuk bisa membuat hidup menjadi bahagia, justru tanpa cinta kita bisa hidup bebas sebebasnya”, wah kok bisa ya orang seganteng Jaka bisa mengkutuk cinta sampai segitunya.

“Itu kan kalo cintanya ditolak Jak. Kalo sama-sama cinta, enak atuh, dunia serasa milik berdua”, padahal aku sendiri nggak tau sih enaknya segimana. Sampe-sampe aku dijulukin Dokter Jomblo ama temen-temen. Malangnya nasibku.

“Pernyataan itu malah untuk cinta yang nggak bertepuk sebelah tangan Dan. Cinta yang mencintai dan dicintai”, wah kalo Jaka yang bilang githu, gimana mau nggak percaya. Percaya kalo dia pernah mencintai dan dicintai. Tapi kalo pernyataan dia bahwa mencintai dan dicintai itu bisa membuat hidup sengsara, ne dia yang aku nggak nyampe.

“Sengsaranya dimana Jak? Bukannya malah enak mencintai dan dicintai? Mungkin ceweknya banyak ngatur kali Jak, makanya kamu ampe bilang kalo tanpa cinta kita bisa hidup bebas sebebasnya”.

“Mencintai dan dicintai disini, maksudnya tuh cinta tanpa cacat Dan, saling menerima apa adanya, nggak menuntut apa-apa, wes pokoknya cinta perfek lah”.

“Nah kalo cintanya perfek, sengsaranya mana Jak?”

“Sengsara karena pasti akan kehilangan. Dan lagi, membuat orang jatuh cinta kepada kita bukanlah hal yang sulit, namun bagaimana membuat cinta itu sendiri tetap hidup, karena cinta memiliki sayap-sayap, ia datang dan pergi” ...

“Hei Jak Jak ... arah jam sembilan. Ini baru tanda kekuasaan Tuhan Jak”, keliatan norak deh kayaknya aku. Soalnya ketemu ama cewek cakep di Mesir tuh kayak nemuin pasir di gurun.

“Udah deh Dan, mendingan lo hidup sendiri, nggak da beban, enak, bahagia, nggak da pikiran, mencintai dan dicintai tuh nggak enak, ashli bis shâd, mendingan lo ngejomblo seumur hidup, lagian lo ada tampang banget kalo jomblo, nggak layak dicintai, bener juga yang lo bilang tadi, dari lo tuh nggak da yang bisa dibanggain, kere lagi, asli deh, jangan sampe lo suka ama cewek, kasian ceweknya”

“Wuaaaaaaaaaaaaaa......”, yaah harus mandi deh, kayaknya tadi nggak ngapa-ngapain, cuman ngeliatin aja. Acara yang beginian neh yang paling nggak banget, pagi-pagi harus mandi. []

Read More......