Saturday, June 2, 2007

Episode Jalur Terbang


[Sebuah Perjalanan][1]


Aku pernah memiliki keinginan menjadi penerbang ulung. Bulu-buluku terbuat dari sebuah zat yang disebut keratin, layaknya burung-burung yang lain. Bukan hanya itu, bulu-bulukupun memiliki ratusan duri kecil yang tumbuh di tiap sisi ruas. Duri-duri yang memberikan bentuk aerodinamik pada burung. Dan juga memiliki barbula
[2]. Tidak berbeda dengan burung-burung yang lain. Itupun setelah melewati meditasi selama kurang lebih 6 tahun.

Aku sering terbang bersama sahabat-sahabatku. Diantara kami yang bisa mencapai ketinggian dan jarak tempuh lebih dari yang lain, dialah pemenang. Aku bukanlah burung yang memiliki alat terbang lebih unggul dari yang lain, alat terbangku bisa dikatakan lebih payah ketimbang teman-temanku yang lain, bahkan guru –terbang-ku pernah mengatakan bahwa aku bukanlah burung penakluk, aku tidak akan bisa mengimbangi burung lain, karena bulu-buluku tidak terlatih untuk menaklukkan ketinggian, meski terbuat dari bahan yang sama. Aku kurang mengerti apa yang dimaksud guruku. Aku tetap bersi keras untuk terbang bersama kawan-kawanku, yang –mungkin- hanya untuk mendapatkan gelar –yang terbaik-.

Mengikuti kelompok terbang tersebut, ternyata harus melewati sebuah seleksi. Aku dinyatakan tidak berhak mengikuti mereka. Alat terbangku tidak layak digunakan sebagai alat penakluk ketinggian. Aku harus kembali bermeditasi selama kurang lebih 6 bulan, itupun kalau aku mampu. Setelah 6 bulan, aku akan diuji kelayakan lagi, jika masih belum layak, maka out, dan gelarku sebagai burung akan dicopot. Fuih ... lumayan, masih mending daripada meditasiku untuk mendapatkan keratin dan barbula selama 6 tahun.

Tantangan yang membuatku lebih menegakkan kepala. Aku tidak mau diremehkan. Harga diri harus tetap dipertahankan. Aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku bisa menaklukkan ketinggian.

6 bulan terlewati. Aku diuji kembali. Surprise. Aku dinyatakan layak. Bahkan aku dikelompokkan dalam beberapa jenis burung yang bisa mencapai jarak 20.000 kilometer, yaa ... setengah jarak keliling bumi, memang wajar kalau kami belum bisa mencapai 40.000 kilometer, karena kami baru saja beranjak dewasa, dan belum pernah membelah samudera dalam jalur terbang kami. Kelompok tersebut adalah kelompok yang memiliki berat kerangka 4% sampai 7% dari seluruh berat tubuh, dan kebetulan berat kerangka tubuhku 4,9% dari berat tubuh, lebih berat sedikit dari kerangka burung merpati yang beratnya sekitar 4,4% dari berat tubuh. Entah apa yang membuatku dimasukkan dalam kelompok ini, padahal aku belum pernah mencoba terbang lebih dari 600 kilometer. Dan saat itu, jarak tersebut adalah terjauh bagiku, aku tidak akan mampu terbang lebih jauh lagi, karena aku tidak sanggup jauh terpisah dari ibuku. Entah kenapa, dada rasanya sesak kalau jauh darinya, atau mungkin aku dan ibuku adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Dua raga dengan satu hati dan jiwa.

Tengtengteeng ... episode baru dalam hidupku dimulai. Banyak hal baru yang akan aku temui. Aku akan menempuh jarak 20.000 kilometer. Bersama teman-temanku. Sebelum kami memulai, pemimpin kami berpesan, “Di depan kalian, terdapat ribuan tantangan, kita akan istirahat setiap menempuh jarak 3.333 kilometer, maka kita akan istirahat sebanyak 6 kali sampai menempuh 20.000 kilometer. Dan di setiap peristirahatan, kalian akan diuji kelayakan apakah kalian masih mampu melanjutkan perjalanan selanjutnya. Seminggu lagi kita akan memulai, esok kalian akan diuji”. Malamnya, kata-kata sang pemimpin terngiang dalam lamunku. Aku berpikir, apa kira-kira tujuan semuanya, terlebih bagi mereka nantinya yang mampu meraih gelar -yang terbaik- diujung setengah perjalan kami.

Keesokan harinya. Sang pemimpin kembali memberi pesan sebelum kami diuji kelayakan, “Dalam perjalanan kalian, kalian tidak akan mendapatkan apa yang sebenarnya kalian inginkan, tapi kalian akan mendapat kunci untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan”. Pertanyaanku semalam, secara tidak langsung telah terjawab. Seolah sang pemimpin mengerti dan bisa membaca jalan pikiran para pengikutnya. Lalu, ujian dimulai.

Seminggu kemudian. Kurang lebih 50 kelompok burung berkumpul. Setiap kelompok terdiri dari 40 ekor. Kami, aku dan teman-temanku, akan kembali dikelompokkan dengan kelompok baru hasil ujian minggu lalu. Aku termasuk mereka yang beruntung. Aku termasuk burung-burung yang layak menempuh 20.000 kilometer. Hanya 600 dari kurang lebih 2000 burung yang dinyatakan layak menempuh jarak tersebut. Aku bercericit riang mendengar itu semua. Perjuanganku tidak sia-sia. Perjuangan yang harus sering menahan sesaknya dada karena jauh dari ibuku, membuahkan hasil. Ibuku pasti akan bahagia mendengar setitik keberhasilan dalam perjalanan hidupku. Dan lagi, aku dikelompokkan bersama burung-burung yang tidak perlu menempuh 20.000 kilometer untuk mendapatkan kunci, entah kunci yang bagaimana. Kelompok yang tidak perlu menempuh 3.333 kilometer pertama. Ya, aku hanya perlu menempuh jarak 16.667 kilometer untuk mendapatkan kunci tersebut. Tentunya hanya membutuhkan waktu lebih sedikit. Perjalananpun dimulai.

Pada jarak 9.500 kilometer, setelah dua kali peristirahatan, aku berhasil menempati urutan kedua dari kelompokku dan dari 600 burung yang lain. Yiehaa ... aku benar-benar mampu. Dan aku akan benar menjadi penerbang ulung. Penerbang yang “kemana-mana”. Aku yakin, 3.333 kilometer selanjutnya aku akan mampu menjadi yang terbaik dari 600 burung. Itu artinya, aku memiliki harapan untuk menandingi kecepatan terbang jenis Hirundapus Giganteus, yang kononnya adalah termasuk jenis burung yang terbang paling tercepat di dunia. Dan nyaris benar, setelah mendekati peristirahatan ketiga, aku tetap bisa mempertahankan urutan keduaku. Keyakinanku bertambah. Aku benar-benar akan menjadi yang terbaik pada putaran selanjutnya. Tapi sayang, 3000 kilometer selanjutnya, aku tetap pada urutan kedua. Ternyata, -yang terbaik- diantara kami terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Aku gagal.

Tiba pada peristirahatan keempat. Aku mulai merasa jenuh dengan perjalanan. Bosan. Ada sisi lain dalam hidupku yang tak terpikirkan, aku merasa salah jalan. Aku ingin kembali. Aku tidak ingin melanjutkan perjalanan. Aku merasa, keinginanku menjadi yang terbaik, membuatku memikirkan diri sendiri. Aku menjadi egois. Dalam peristirahatanku, aku menjadi lebih termenung dan terdiam. Ada sisi lain yang belum aku pelajari untuk menjadi burung yang seutuhnya. Aku tidak lagi ingin menjadi yang terbaik dalam perjalanan tersebut. Aku ingin belajar memahami sekelilingku, aku ingin belajar tidak hanya memikirkan diri sendiri, aku ingin menjadi bagian denyut nadi sang alam. Selanjutnya, alam pikiranku menjadi tidak menentu, dan semakin kehilangan arah, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Suatu hari, aku terkejut dan terpana melihat seekor burung yang sedang bercanda dan bernyanyi-nyanyi bersama kelompoknya. Entah apa yang membuat degup jantungku menjadi lebih cepat. Setelah aku bertanya-tanya kepada beberapa temanku, ternyata mereka adalah salah satu jenis burung air, Gallinula Chloropus. Susah ditemukan alasannya, mengapa aku tertarik. Selanjutnya, hari-hariku menjadi penuh dengan bayangnya. Aku benci.

Putaran ke-empat dimulai. Aku tidak lagi semangat seperti pada putaran sebelumnya. Aku terbang tidak secepat sebelumnya. Jiwaku menjadi tak menentu. Ketidak tentuan arah pikiran dan jiwaku sepertinya membawa dampak lain pada alat terbangku. Keteraturan yang ada pada otot-otot ketika terbang, mulai tidak menentu. Kerutan supracoracoideus (otot dada kecil) saat sayap terangkat tidak lagi maksimal. Begitupun sebaliknya, pada saat sayap diturunkan, pectoralis major (otot dada besar) tidak mengendur maksimal. Itu semua menjadikan kecepatan terbangku tidak seperti sebelumnya. Aku nyaris terjatuh.

Dan akhirnya terbukti. Pada akhir putaran ke-empat, aku tidak lagi berada pada urutan ke-dua. Di kelompokku sendiri, aku berada pada urutan terakhir, bagaimanan tidak, kelompokku adalah mereka yang berada pada urutan 1-40, dan sekarang aku berada pada urutan ke 55. Jangankan di kelompokku, pada kelompok dua pun aku bukan pada urutan pertama. Aku benar-benar bukan aku yang dulu, aku yang ingin menjadi yang terbaik. Tapi sepertinya aku masih ingin menjadi yang terbaik, dari sisi hidup yang lain, menjadi aku sendiri. Bukan untuk menjadi orang lain.

Pada perjalanan selanjutnya, aku tidak lagi terbang bersama kelompok pertama. Itu berarti, untuk menjadi yang terbaik, aku harus mengembalikan keteraturan sistem terbangku dan menghapus bayangan seekor burung Gallinula Chloropus. Dan aku harus bisa mengembalikan kemampuanku.

Singkat cerita. Aku berhasil menempati urutan 10 burung pertama. Tapi hal tersebut tidak membuatku gembira. Justru lebih membuatku sering termenung. Ya, aku tidak bisa lagi terbang secepat dulu. Aku berada pada persimpangan jalan. Aku tidak mampu menentukan arah jalur terbangku selanjutnya. Aku terpuruk. Kemampuanku menempuh jarak 20.000 kilometer tidak membuatku mampu menentukan arah. Lalu entah apa selanjutnya yang membuatku kemudian menentukan arah untuk terbang menaklukkan samudera menuju utara dari tanah kelahiranku.

Memori itu masih kuat melekat dalam pikiranku. Tapi realita memaksaku hidup pada hari ini, detik ini, bukan pada masa lalu. Aku kembali menjelma sebagai manusia. [June, 02 2007]

____________________
[1] Terima kasih ibu, yang selalu setia menemani perjalanan hidupku. Yang selalu membantu aku terjaga dari keterpurukan.

[2] Helain halus pada duri kecil yang tumbuh di tiap ruas pada bulu burung.

No comments: