Tuesday, June 19, 2007

“Prostitusi” yang Dihalalkan

Biasanya saya memulai sebuah tulisan tanpa harus memberi judul terlebih dahulu, terlebih jika saya akan menulis sebuah refleksi dari realita, terhadap hidup saya sendiri atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan saya, hanya saja kebetulan menclok dalam perjalanan hidup saya.

Pria Mesir itu ternyata memang benar-benar belum menikah. Sebelumnya saya pernah mendengar sih dari beberapa teman bahwa Gada’ (nama samaran) ingin menikah dengan orang Indo. Hari itu, merupakan pertama kalinya saya ngobrol sama Gada’ sekitar 5 jam-an. Dan dia bukan orang Mesir pertama yang menyampaikan kepada saya kekecewaan terhadap beberapa adat tanah kelahirannya.

Spontan saya teringat Bang Dede. Gimana kabar Tunisia?:). Tiga tahun yang lalu, ketika saya masih belum tahu banyak tentang Mesir, dia pernah cerita tentang “Lika-liku Laki-laki tak Laku-laku”. Menarik sekali penuturannya, saya senang mendengar cara dia menyampaikan sebuah cerita. Sekarang, saya benar-benar bertemu dan bercengkrama dengan pelaku realita.

Awalnya kami (saya dan Gada’) hanya ngobrol basa-basi. Terlebih saya termasuk orang yang nggak enjoy ngobrol sama orang Mesir. Entah apa yang membuat dia tiba-tiba menyampaikan keinginannya menikah dengan orang Indo. Katanya sih, dia suka cara hidup orang Indo, mulai dari cara berpakaian, cara makan, cara menerima tamu. Menurut saya sih, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Tapi akhirnya, dia menyampaikan juga alasan yang membuat dia belum menikah sampai sekarang, sampai dia berumur 40 tahun, sampai rambut dan jenggotnya banyak dihiasi warna putih, sudah pantas dipanggil kakek. Nikah di Mesir bukan untuk orang menengah ke bawah. Maharnya saja bisa mencapai seratus juta rupiah, flat beserta isinya sebagai mahar yang tidak bisa tidak, dan mobil sebagai mahar tambahan. Gada’ tidak bisa menikah, sebab dia tidak bisa membeli flat sebagai mahar. Adat menikah di Mesir memang benar-benar konsep yang jauh dari rasa memiliki. Mirip sekali dengan konsep “jajan”, kalo mau silahkan bayar, silahkan rasakan, silahkan pergi. Bedanya disini, setelah merasakan nggak boleh pergi.

Adat tersebut sempat mengalami perubahan. Sekarang, pria mesir boleh menikah dengan mahar yang dicicil dengan waktu tenggang yang disepakati bersama, dan jika dalam waktu tenggang tersebut si pengantin pria belum bisa melunasi mahar, ayah dari pengantin wanita memaksa sang menantu untuk menceraikan anaknya. Sampai segitunya:(.

Sangat bertolak belakang sekali dengan konsep menikah ala Indo. Dengan perangkat alat sholat pun, jadi. Rumah urusan belakang, bahkan tidak sedikit pengantin yang tinggal satu atap dengan mertua. Sampai-sampai kebablasan. Tanpa mahar, tanpa akad, asal sudah saling “mencintai”, muda mudi bisa main sulap, dua orang jadi tiga, keren kan? Mungkin itu salah satu, penyebab Gada’ ingin menikah dengan orang Indo. Tidak memerlukan modal banyak untuk menikah, mudah dan murah.

Saya sendiri tidak ingin, adat menikah Indo dipandang murah. Saya katakan padanya, mahar di Indo memang sangat murah, sebab ada unsur dan syarat yang tidak bisa dihargai oleh materi. Tanggungjawab, ketulusan dan kesetiaan. Dan secara esensial, menikah dengan orang Indo, lebih mahal dibanding menikah dengan orang mesir.

***

“Mâ min ‘Âmin illa wa qad khusshisha”. Coretan saya diatas, tidak berarti umum. Tidak semua orang mesir yang menikahkan anaknya, mengharuskan sang menantu membayar mahar segitu mahalnya. Begitu pula di Indo, tidak semua orang menikah hanya dengan mahar perangkat alat shalat. Ada pula yang menganut konsep materialistis, dengan memakai topeng cinta. Cinta yang berdasarkan materi, jabatan, keturunan. Dan tidak sedikit orang tua yang mempraktekkan “prostitusi” yang dihalalkan terhadap anak putrinya.

“Allâhumma innî asaluka khair-l-hayât”. []



Bawwâbah, 19 Juni 2007


1 comment:

preman said...

mahalnya bea nikah di mesir, menyisakan banyak fenomena sosial yang menarik.
pertama, munculnya para bujang lapuk atau perawan tua. para bujang lapuk itu mendadak jadi pencemburu tinggi, ketika melihat pria asing 'menggandeng' gadis mesir. kawan-kawan masisir tentu tau soal ini.
sementara, para perawan tua juga mengalami dilema. daripada menunggu lamaran para bujang yang entah kapan, mendingan jadi isteri kedua-ketiga. maka, poligami jadi pilihan.
satu hal lagi, nikah urfi jadi trend, guna menghindari nikah berbiaya tinggi.
utk kawan-kawan masisir, ada satu pertanyaan yang mohon ditelusuri jawabannya. "apakah fenomena tingginya biaya nikah yang harus diemban pria mesir, merupakan buah gerakan emansipasi yang dulu gencar di mesir?" salam manis dari tunis