Saturday, June 23, 2007

Suara Aneh*

Oleh: Dr. Qushay Syeikh 'Askar**

Suara-suara itu telah memperdaya aku, bahkan aku sendiri menyangka bahwa aku telah lupa, atau mungkin hanya pura-pura lupa, telah beberapa lama suara itu tak mengganggu alam pikiranku, lalu tiba-tiba ia datang lagi, tanpa sebab, tanpa disangka-sangka.

Raungan itu mengusik tidurku, kemudian suara itu berubah-ubah ... suara macan ... hyena (sejenis serigala) ... lolongan anjing ... aku bisa membedakan suara-suara itu sebagaimana tukang emas membedakan jenis logam. Ketajaman suara-suara itu silih berganti menggetarkan gendang telingaku. Semua itu terjadi sebelum aku bebas, sebelum detik-detik dimana aku tinggal di hotel ini. Sampai saat ini, aku belum tahu dimana sebenarnya aku dulu diasingkan, lebih tepatnya mungkin dibuang. Masih terekam jelas diingatanku, malam Rabu, tiga orang dengan kepala tertutup membawaku ke suatu tempat yang aku tak tahu, tapi entah apa yang terjadi andai saja aku tidak pergi dari sini? -Aku tidak menyesal-. Mereka menghempaskan aku ke dalam mobil hitam, lalu dua orang diantara mereka menutup mataku dengan kain, aku duduk bertinggung dengan tangan terikat. Lalu tiba-tiba, bermacam binatang buas menghampiriku dari tempat persembunyiannya. Sekarang, setelah 25 tahun, suara-suaru itu kembali mengusikku.

Begitulah, tiba-tiba, tanpa sebab, justru dengan ketenangan dan kesunyian yang ada di pulau kecil ini, malah menyuburkan memoriku, membuat suara-suara aneh itu kembali menghampiriku dari persembunyiannya.

Pada mulanya, raungan terdengar lama di telingaku, persis seperti yang aku dengar di masa silam, aku mengerti, mereka membuangku untuk santapan binatang buas. Lalu suara itu berubah menjadi lolongan anjing, serigala, aku hampir bernafas dengan suara-suara itu dan dengan baunya yang tidak sedap, aku merasa mual. Aku melapor ke penjaga hotel, aku menginginkan kamar yang tenang. Ia membawaku ke kamar lebih luas dengan balkon yang memiliki pemandangan alam bebas, luas. Sebuah kamar yang mirip dengan rumah sakit, aku tidak bermimpi, dan yang lebih penting, bahwa aku lari dengan melewati perjalanan panjang. Dua puluh lima tahun, dengan ribuan mil, yaa ... aku yakin, suara-suara itu nggak akan kembali mengusik pada sisa-sisa hidupku. Dulu saja, ketika mataku ditutup kain, dengan tangan terikat, dan aku merasakan lidah-lidah binatang buas menjilati wajahku, aku tidak kehilangan apapun dari tubuhku, satu yang membuatku bertanya-tanya, kenapa suara itu kembali lagi secara tiba-tiba, tanpa sebab, setelah waktu yang cukup lama?

Aku pergi berkonsultasi kepada dokter yang berumur antara 30-40 tahun, mengatakan padaku bahwa kebebasan yang aku temukan setelah pelarianku, membuatku terlepas secara perlahan dari sesuatu yang paling terdalam dari hidupku. Sekarang, aku benar-benar seperti orang yang sedang bermimpi, terlepas dari segala macam ikatan dan aturan, malam nanti aku pasti akan segera tidur, setelah semalam aku tidak bisa tertidur. Satu hal yang membuatku tenang, dokter tidak memberiku resep obat untuk dikonsumsi. Sebenarnya sih, aku tidak menceritakan padanya tentang suara-suara yang sering mengganggu tidurku selama ini. Padahal, malam tadi selepas maghrib, suara-suara itu masih mengusikku.

Aku belum meninggalkan hotel, malam ini sebelum tidur, aku berusaha menenangkan jiwa, menyibukkan diri dengan menghitung dari seribu sampai satu. Baru beberapa nomer saja, suara-suaru itu kembali menghampiriku, atau mungkin aku hanya menyangka suara itu mirip dengan lolongan anjing, lalu aku tertidur dan terjaga berkali-kali.

Sudah tiga hari aku tinggal di pulau ini dan belum menemukan pemandu tour. Suara-suara yang mengusik telinga dan menjilat wajahku dengan lidah-lidahnya yang kasar itu benar-benar mengganggu jiwaku, dan membuatku terpaksa harus menghabiskan sebagian besar waktuku dengan berdiam diri di kamar hotel, kecuali saat-saat aku harus berjalan-jalan ke tempat umum, atau bersantai di sebuah kafe.

Ketika pelayan hotel datang ke kamar membawa sarapan, aku bertanya tentang pemandu tour terdekat dari sini, ia menunjuk ke arah belakang balkon, diikuti dengan senyum lembutnya, membuat wajahnya yang bulat tambah bersinar, "anda tidak perlu menyewa mobil untuk pergi kesana, itu dibelakang bukit yang dikelilingi pepohonan, lima menit dari sini dengan berjalan kaki". Kemudian ia membawa meja ke balkon untuk menyingkap tirai agar aku bisa melihat bukit lebih jelas, ia menambahkan, "Binatang-binatang yang ada disana, didatangkan dari Afrika oleh kakek-kakek kami di masa penjajahan, untuk menyaksikan pergulatan manusia mempertahankan hidup melawan keganasan binatang-binatang itu. Dan agar pelanggan kami tidak terganggu dengan suara-suara itu, kami buat kaca-kaca jendela setebal mungkin agar suara-suara binatang itu tidak mengganggu pelanggan kami.

Semuanya jelas bagiku, hanya karena aku tidak menutup jendela kamar, kalaulah ditutup, suara-suara itu sebenarnya tidak akan pernah terdengar. Mataku tetap tertuju menatap bukit di belakang balkon, pelayan terus bercerita tentang bukit dan binatang-binatang itu, ia sendiri tak habis pikir, sebab orang-orang yang dilemparkan ke bukit itu sebagai mangsa binatang-binatang buas, bisa selamat, padahal mata mereka tertutup dan tangan mereka terikat, diantara mereka ada yang selamat dengan perlawanan, ada pula yang hanya beruntung, tanpa sebab, tanpa usaha untuk melawan.

Aku tak bernafsu untuk sarapan pagi ini, aku tinggalkan semuanya di atas talam, aku ganti pakaian tergesa-gesa, turun melewati tangga, keluar hotel menuju bukit, aku ingin melihat binatang-binatang buas yang dulu dengan lidah-lidah kasarnya menjilati wajahku dengan mata tertutup. []

_________________
* Terjemahan bebas oleh Dantey dari rubrik "Qisshah" majalah bulanan el-'Araby.
** Cerpenis Iraq berdomisili di London.

Read More......

Tuesday, June 19, 2007

“Prostitusi” yang Dihalalkan

Biasanya saya memulai sebuah tulisan tanpa harus memberi judul terlebih dahulu, terlebih jika saya akan menulis sebuah refleksi dari realita, terhadap hidup saya sendiri atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan saya, hanya saja kebetulan menclok dalam perjalanan hidup saya.

Pria Mesir itu ternyata memang benar-benar belum menikah. Sebelumnya saya pernah mendengar sih dari beberapa teman bahwa Gada’ (nama samaran) ingin menikah dengan orang Indo. Hari itu, merupakan pertama kalinya saya ngobrol sama Gada’ sekitar 5 jam-an. Dan dia bukan orang Mesir pertama yang menyampaikan kepada saya kekecewaan terhadap beberapa adat tanah kelahirannya.

Spontan saya teringat Bang Dede. Gimana kabar Tunisia?:). Tiga tahun yang lalu, ketika saya masih belum tahu banyak tentang Mesir, dia pernah cerita tentang “Lika-liku Laki-laki tak Laku-laku”. Menarik sekali penuturannya, saya senang mendengar cara dia menyampaikan sebuah cerita. Sekarang, saya benar-benar bertemu dan bercengkrama dengan pelaku realita.

Awalnya kami (saya dan Gada’) hanya ngobrol basa-basi. Terlebih saya termasuk orang yang nggak enjoy ngobrol sama orang Mesir. Entah apa yang membuat dia tiba-tiba menyampaikan keinginannya menikah dengan orang Indo. Katanya sih, dia suka cara hidup orang Indo, mulai dari cara berpakaian, cara makan, cara menerima tamu. Menurut saya sih, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Tapi akhirnya, dia menyampaikan juga alasan yang membuat dia belum menikah sampai sekarang, sampai dia berumur 40 tahun, sampai rambut dan jenggotnya banyak dihiasi warna putih, sudah pantas dipanggil kakek. Nikah di Mesir bukan untuk orang menengah ke bawah. Maharnya saja bisa mencapai seratus juta rupiah, flat beserta isinya sebagai mahar yang tidak bisa tidak, dan mobil sebagai mahar tambahan. Gada’ tidak bisa menikah, sebab dia tidak bisa membeli flat sebagai mahar. Adat menikah di Mesir memang benar-benar konsep yang jauh dari rasa memiliki. Mirip sekali dengan konsep “jajan”, kalo mau silahkan bayar, silahkan rasakan, silahkan pergi. Bedanya disini, setelah merasakan nggak boleh pergi.

Adat tersebut sempat mengalami perubahan. Sekarang, pria mesir boleh menikah dengan mahar yang dicicil dengan waktu tenggang yang disepakati bersama, dan jika dalam waktu tenggang tersebut si pengantin pria belum bisa melunasi mahar, ayah dari pengantin wanita memaksa sang menantu untuk menceraikan anaknya. Sampai segitunya:(.

Sangat bertolak belakang sekali dengan konsep menikah ala Indo. Dengan perangkat alat sholat pun, jadi. Rumah urusan belakang, bahkan tidak sedikit pengantin yang tinggal satu atap dengan mertua. Sampai-sampai kebablasan. Tanpa mahar, tanpa akad, asal sudah saling “mencintai”, muda mudi bisa main sulap, dua orang jadi tiga, keren kan? Mungkin itu salah satu, penyebab Gada’ ingin menikah dengan orang Indo. Tidak memerlukan modal banyak untuk menikah, mudah dan murah.

Saya sendiri tidak ingin, adat menikah Indo dipandang murah. Saya katakan padanya, mahar di Indo memang sangat murah, sebab ada unsur dan syarat yang tidak bisa dihargai oleh materi. Tanggungjawab, ketulusan dan kesetiaan. Dan secara esensial, menikah dengan orang Indo, lebih mahal dibanding menikah dengan orang mesir.

***

“Mâ min ‘Âmin illa wa qad khusshisha”. Coretan saya diatas, tidak berarti umum. Tidak semua orang mesir yang menikahkan anaknya, mengharuskan sang menantu membayar mahar segitu mahalnya. Begitu pula di Indo, tidak semua orang menikah hanya dengan mahar perangkat alat shalat. Ada pula yang menganut konsep materialistis, dengan memakai topeng cinta. Cinta yang berdasarkan materi, jabatan, keturunan. Dan tidak sedikit orang tua yang mempraktekkan “prostitusi” yang dihalalkan terhadap anak putrinya.

“Allâhumma innî asaluka khair-l-hayât”. []



Bawwâbah, 19 Juni 2007


Read More......

Monday, June 18, 2007

Entahlah!

Tiba-tiba perutku mulas ketika menerima lipatan kertas itu. Merinding. Hawa ghaib seakan menyelimuti sekelilingku. Sepertinya, kertas itu memang benar-benar memiliki kekuatan. “Bawa ini kemanapun kamu pergi, Insya Allah selamat dan selalu aman!”, pesan temanku saat memberikan kertas itu. Perutku tambah mulas saat mendengar kata-kata aneh. Sepertinya sih bahasa Arab. Mungkin mantra keselamatan.

Sejak saat itu. Aku selalu merinding setiap melihat, mendengar apapun yang berbau arab. Apalagi kalau ada tetanggaku yang meninggal. Selama tujuh hari tujuh malam nggak bisa tidur. Sebab, selepas matahari terbenam, para tetangga berkumpul di kediaman keluarga yang sedang berduka, tentunya aku juga. Lalu kita membaca entahlah, aku nggak faham, katanya bahasa arab. Mungkin sudah menjadi adat setiap ada yang meninggal. Sedikit yang aku tau, apa yang di baca bersama, dihadiahkan kepada sang mayit. Penyelamat katanya.

“Eh Dan, kamu tahu Kyai Gala? Dia tuh bisa ada di banyak tempat dalam satu waktu, bisa ngilang, bisa terbang, dibacok nggak mempan. Kamu pengen seperti dia?”, kata temanku suatu hari dalam waktu senggangku.

“Dia orang Islam ya?”, tanyaku yang aku sendiri nggak tau kenapa nanya githu.

“Lha iya lah Dan, namanya aja kyai. Caranya gampang, ....... “. Temanku menyebutkan syarat-syarat yang nggak sedikit tanpa menghiraukan kalau aku nggak berminat sama sekali. Sebab hanya merinding yang aku rasakan. Perutku mulas.

***

Apa benar Islam mengajarkan itu semua?
Apa benar Islam hanya sebatas adzan, shalat, “tahlil”, haji, kuburan?
Apa benar Quran hanyalah sebuah mantra-mantra penyelamat?
Apa benar kita akan selamat hanya dengan “membaca Quran”?
Apakah Quran hanya sebatas pengusir syetan?
Apakah Quran hanya sebatas ... entahlah!!! Aneh!!!



Read More......

Saturday, June 16, 2007

Bukan Sekedar Mantra

“Surely in the creation of the heavens and the earth, in the disparity of the night and day, in the ships that course in the sea with that which benefits people, in the water that Allah sends down from the sky, reviving with in the earth after it was barren, in His spreading in it all kinds of living things, in the changing of the winds and the subjected clouds between the sky and the earth, indeed are Signs for people who have understanding.” (al-Baqarah: 164)

***

“Saya menemukan kehadiran Islam di Barat tanpa kehadiran muslimin. Dan saya tidak menemukan Islam di Timur dengan kehadiran muslimin.” (Muhammad Abduh)

***

Sengaja saya sandingkan salah satu ayat yang berbicara tentang tanda-tanda kekuasaan tuhan, dengan statement seorang pembaharu Islam, penggagas gerakan modernisme Islam. Muhammad Abduh. Sebab, realita Islam yang terjadi sekarang, benar-benar semakin menguatkan pemikiran Abduh 100 tahun yang lalu.

Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khairullah, dilahirkan pada tahun 1849 Masehi bersamaan dengan 1265 Hijrah di Kampung Mahallat Nasr, Mukim Sujubrakhit, Daerah Buhairah, Mesir. Pernah diasingkan selama 6 tahun pada 1882 karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Libanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersama al-Afghani (seorang filosof dan pembaharu yang mengusung gerakan menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika) menerbitkan jurnal Islam “The Firmest Bond”. Beliau belajar filsafat dan logika di Universitas al-Azhar, Kairo.

Sobat, pernahkan kita berpikir seperti halnya Abduh menilai sebuah realita? Pernahkan kita bertanya-tanya, adakah Islam mengajarkan kita untuk memperhatikan alam semesta ini? Kenapa rahasia alam semesta ini bukan kita yang mengungkap. Ataukah kita, hanya menganggap Kitab Suci al-Quran hanya sebatas mantra. Al-Quran hanya sebatas bacaan untuk orang mati. Entah siapa yang pertama kali mengartikan bahwa kata “membaca”, hanyalah membaca. A adalah A, B adalah B, tanpa harus mengerti arti dari apa yang dibaca. Ternyata di dunia ini, ada sebuah agama yang memiliki Kitab Suci yang tidak memiliki makna. Sebab Kitab Suci tersebut hanyalah sebuah mantra.

Mari kita sama-sama menguak salah satu perintah Sang Maha Sempurna, untuk memperhatikan alam semesta. Pada ayat 164 al-Baqarah, Tuhan mengisyaratkan pada manusia bahwa pada penciptaan langit dan bumi adalah salah satu tanda kekuasaan-Nya bagi “orang-orang yang berpikir”. Kita semua tahu, siapa yang pertama kali berhasil menginjakkan kakinya ke bulan. Tiga puluh delapan tahun lalu, tepatnya 20 Juli 1969, Neil Amstrong dan rekannya Edwin Aldrin telah mencatat pertistiwa terbesar sepanjang sejarah perjalanan Amerika. Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran itu semua, paling tidak mereka telah berusaha untuk bisa membuktikan bahwa alam semesta ini memang benar-benar penciptaan yang spektakuler. Terlepas pula apakah semua itu hanyalah sebatas kepentingan politik Pemerintah Amerika untuk dunia atau kepentingan apalah namanya. Dan sepertinya saya tidak perlu menyebutkan satu persatu, keberhasilan Barat dalam menemukan hal baru dalam mengukir sejarah perjalanan hidup manusia. Kemampuan mereka benar-benar nyaris membuktikan kebenaran sebuah wacana bahwa, hanya Baratlah yang memiliki kemampuan menemukan hal baru “al-Ibda’”.

Sobat, dunia saat ini masih sedang sibuk menguak rahasia-rahasia alam. Kenapa kita malah sibuk ingin merubah agama kita, masih berbicara rekonstruksi, dekonstruksi, tawaran syari’at progressif, syari’at yang merahmati. Masih ingin membuktikan bahwa agama adalah candu. Masih baru ingin mengikuti jejak Eropa yang maju setelah melepaskan kehidupan mereka dari agama. Sobat, agama Islam bukan agama Kristen, bukan agama Yahudi. Dan kenapa kita masih hobi menghadirkan sebuah drama perjalanan sejarah Islam, dengan tampilan yang berbeda. Saling kafir mengkafirkan, saling merasa benar. Itu semua sudah sering dialami oleh Islam.

Bravo bagi sobat muslim yang sibuk menguak rahasia alam dan bergelut dalam dunia teknologi.

[Bawwabah, 14 Juni 2007]


Read More......

Saturday, June 9, 2007

Mekarlah Bungaku


kau datang dengan air mata
inginkan sesuatu
sesuatu yang tak bisa dinilai
sebab tak mungkin dimiliki
dengan tangis
saat kau belum mengerti
dan mungkin juga aku
dengan tangis
tidak untuk dirimu
saat kau masih berbicara cinta
berbeda tentunya dengan bahasa manusia
kau inginkan sebuah kasih sayang
dengan tangis
tidak semestinya kau memperoleh
dari kami yang tak mengerti
apa yang terjadi
sedang kau belum mengenal matahari
hanya gelap dan air mata
“Tidak, aku berhak!”
mungkin itu yang kau maksud
tentunya dengan tangismu
dan bahasa matamu
setelah kau bertambah umur
kau datang dan menanyakan kembali
adakah kasih sayang itu
kini, kau telah mengenal malam dan siang
beranjak dewasa
kau hiasi hidupmu dengan gelak dan tawa
sesekali dengan perih
tapi tak pernah kutemui lagi air mata itu
tangismu … bahasamu
kau tumbuh sebagai manusia tegar
tanpa tangis meski saat kau harus menangis
telah kau dapatkan kasih sayang itu
dari kami, dariku
mekarlah bungaku, adikku!
hiasi hidupmu, hidup ini penuh warna
Bawwabah, 3 Feb 2007

Read More......

Saturday, June 2, 2007

Episode Jalur Terbang


[Sebuah Perjalanan][1]


Aku pernah memiliki keinginan menjadi penerbang ulung. Bulu-buluku terbuat dari sebuah zat yang disebut keratin, layaknya burung-burung yang lain. Bukan hanya itu, bulu-bulukupun memiliki ratusan duri kecil yang tumbuh di tiap sisi ruas. Duri-duri yang memberikan bentuk aerodinamik pada burung. Dan juga memiliki barbula
[2]. Tidak berbeda dengan burung-burung yang lain. Itupun setelah melewati meditasi selama kurang lebih 6 tahun.

Aku sering terbang bersama sahabat-sahabatku. Diantara kami yang bisa mencapai ketinggian dan jarak tempuh lebih dari yang lain, dialah pemenang. Aku bukanlah burung yang memiliki alat terbang lebih unggul dari yang lain, alat terbangku bisa dikatakan lebih payah ketimbang teman-temanku yang lain, bahkan guru –terbang-ku pernah mengatakan bahwa aku bukanlah burung penakluk, aku tidak akan bisa mengimbangi burung lain, karena bulu-buluku tidak terlatih untuk menaklukkan ketinggian, meski terbuat dari bahan yang sama. Aku kurang mengerti apa yang dimaksud guruku. Aku tetap bersi keras untuk terbang bersama kawan-kawanku, yang –mungkin- hanya untuk mendapatkan gelar –yang terbaik-.

Mengikuti kelompok terbang tersebut, ternyata harus melewati sebuah seleksi. Aku dinyatakan tidak berhak mengikuti mereka. Alat terbangku tidak layak digunakan sebagai alat penakluk ketinggian. Aku harus kembali bermeditasi selama kurang lebih 6 bulan, itupun kalau aku mampu. Setelah 6 bulan, aku akan diuji kelayakan lagi, jika masih belum layak, maka out, dan gelarku sebagai burung akan dicopot. Fuih ... lumayan, masih mending daripada meditasiku untuk mendapatkan keratin dan barbula selama 6 tahun.

Tantangan yang membuatku lebih menegakkan kepala. Aku tidak mau diremehkan. Harga diri harus tetap dipertahankan. Aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku bisa menaklukkan ketinggian.

6 bulan terlewati. Aku diuji kembali. Surprise. Aku dinyatakan layak. Bahkan aku dikelompokkan dalam beberapa jenis burung yang bisa mencapai jarak 20.000 kilometer, yaa ... setengah jarak keliling bumi, memang wajar kalau kami belum bisa mencapai 40.000 kilometer, karena kami baru saja beranjak dewasa, dan belum pernah membelah samudera dalam jalur terbang kami. Kelompok tersebut adalah kelompok yang memiliki berat kerangka 4% sampai 7% dari seluruh berat tubuh, dan kebetulan berat kerangka tubuhku 4,9% dari berat tubuh, lebih berat sedikit dari kerangka burung merpati yang beratnya sekitar 4,4% dari berat tubuh. Entah apa yang membuatku dimasukkan dalam kelompok ini, padahal aku belum pernah mencoba terbang lebih dari 600 kilometer. Dan saat itu, jarak tersebut adalah terjauh bagiku, aku tidak akan mampu terbang lebih jauh lagi, karena aku tidak sanggup jauh terpisah dari ibuku. Entah kenapa, dada rasanya sesak kalau jauh darinya, atau mungkin aku dan ibuku adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Dua raga dengan satu hati dan jiwa.

Tengtengteeng ... episode baru dalam hidupku dimulai. Banyak hal baru yang akan aku temui. Aku akan menempuh jarak 20.000 kilometer. Bersama teman-temanku. Sebelum kami memulai, pemimpin kami berpesan, “Di depan kalian, terdapat ribuan tantangan, kita akan istirahat setiap menempuh jarak 3.333 kilometer, maka kita akan istirahat sebanyak 6 kali sampai menempuh 20.000 kilometer. Dan di setiap peristirahatan, kalian akan diuji kelayakan apakah kalian masih mampu melanjutkan perjalanan selanjutnya. Seminggu lagi kita akan memulai, esok kalian akan diuji”. Malamnya, kata-kata sang pemimpin terngiang dalam lamunku. Aku berpikir, apa kira-kira tujuan semuanya, terlebih bagi mereka nantinya yang mampu meraih gelar -yang terbaik- diujung setengah perjalan kami.

Keesokan harinya. Sang pemimpin kembali memberi pesan sebelum kami diuji kelayakan, “Dalam perjalanan kalian, kalian tidak akan mendapatkan apa yang sebenarnya kalian inginkan, tapi kalian akan mendapat kunci untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan”. Pertanyaanku semalam, secara tidak langsung telah terjawab. Seolah sang pemimpin mengerti dan bisa membaca jalan pikiran para pengikutnya. Lalu, ujian dimulai.

Seminggu kemudian. Kurang lebih 50 kelompok burung berkumpul. Setiap kelompok terdiri dari 40 ekor. Kami, aku dan teman-temanku, akan kembali dikelompokkan dengan kelompok baru hasil ujian minggu lalu. Aku termasuk mereka yang beruntung. Aku termasuk burung-burung yang layak menempuh 20.000 kilometer. Hanya 600 dari kurang lebih 2000 burung yang dinyatakan layak menempuh jarak tersebut. Aku bercericit riang mendengar itu semua. Perjuanganku tidak sia-sia. Perjuangan yang harus sering menahan sesaknya dada karena jauh dari ibuku, membuahkan hasil. Ibuku pasti akan bahagia mendengar setitik keberhasilan dalam perjalanan hidupku. Dan lagi, aku dikelompokkan bersama burung-burung yang tidak perlu menempuh 20.000 kilometer untuk mendapatkan kunci, entah kunci yang bagaimana. Kelompok yang tidak perlu menempuh 3.333 kilometer pertama. Ya, aku hanya perlu menempuh jarak 16.667 kilometer untuk mendapatkan kunci tersebut. Tentunya hanya membutuhkan waktu lebih sedikit. Perjalananpun dimulai.

Pada jarak 9.500 kilometer, setelah dua kali peristirahatan, aku berhasil menempati urutan kedua dari kelompokku dan dari 600 burung yang lain. Yiehaa ... aku benar-benar mampu. Dan aku akan benar menjadi penerbang ulung. Penerbang yang “kemana-mana”. Aku yakin, 3.333 kilometer selanjutnya aku akan mampu menjadi yang terbaik dari 600 burung. Itu artinya, aku memiliki harapan untuk menandingi kecepatan terbang jenis Hirundapus Giganteus, yang kononnya adalah termasuk jenis burung yang terbang paling tercepat di dunia. Dan nyaris benar, setelah mendekati peristirahatan ketiga, aku tetap bisa mempertahankan urutan keduaku. Keyakinanku bertambah. Aku benar-benar akan menjadi yang terbaik pada putaran selanjutnya. Tapi sayang, 3000 kilometer selanjutnya, aku tetap pada urutan kedua. Ternyata, -yang terbaik- diantara kami terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Aku gagal.

Tiba pada peristirahatan keempat. Aku mulai merasa jenuh dengan perjalanan. Bosan. Ada sisi lain dalam hidupku yang tak terpikirkan, aku merasa salah jalan. Aku ingin kembali. Aku tidak ingin melanjutkan perjalanan. Aku merasa, keinginanku menjadi yang terbaik, membuatku memikirkan diri sendiri. Aku menjadi egois. Dalam peristirahatanku, aku menjadi lebih termenung dan terdiam. Ada sisi lain yang belum aku pelajari untuk menjadi burung yang seutuhnya. Aku tidak lagi ingin menjadi yang terbaik dalam perjalanan tersebut. Aku ingin belajar memahami sekelilingku, aku ingin belajar tidak hanya memikirkan diri sendiri, aku ingin menjadi bagian denyut nadi sang alam. Selanjutnya, alam pikiranku menjadi tidak menentu, dan semakin kehilangan arah, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Suatu hari, aku terkejut dan terpana melihat seekor burung yang sedang bercanda dan bernyanyi-nyanyi bersama kelompoknya. Entah apa yang membuat degup jantungku menjadi lebih cepat. Setelah aku bertanya-tanya kepada beberapa temanku, ternyata mereka adalah salah satu jenis burung air, Gallinula Chloropus. Susah ditemukan alasannya, mengapa aku tertarik. Selanjutnya, hari-hariku menjadi penuh dengan bayangnya. Aku benci.

Putaran ke-empat dimulai. Aku tidak lagi semangat seperti pada putaran sebelumnya. Aku terbang tidak secepat sebelumnya. Jiwaku menjadi tak menentu. Ketidak tentuan arah pikiran dan jiwaku sepertinya membawa dampak lain pada alat terbangku. Keteraturan yang ada pada otot-otot ketika terbang, mulai tidak menentu. Kerutan supracoracoideus (otot dada kecil) saat sayap terangkat tidak lagi maksimal. Begitupun sebaliknya, pada saat sayap diturunkan, pectoralis major (otot dada besar) tidak mengendur maksimal. Itu semua menjadikan kecepatan terbangku tidak seperti sebelumnya. Aku nyaris terjatuh.

Dan akhirnya terbukti. Pada akhir putaran ke-empat, aku tidak lagi berada pada urutan ke-dua. Di kelompokku sendiri, aku berada pada urutan terakhir, bagaimanan tidak, kelompokku adalah mereka yang berada pada urutan 1-40, dan sekarang aku berada pada urutan ke 55. Jangankan di kelompokku, pada kelompok dua pun aku bukan pada urutan pertama. Aku benar-benar bukan aku yang dulu, aku yang ingin menjadi yang terbaik. Tapi sepertinya aku masih ingin menjadi yang terbaik, dari sisi hidup yang lain, menjadi aku sendiri. Bukan untuk menjadi orang lain.

Pada perjalanan selanjutnya, aku tidak lagi terbang bersama kelompok pertama. Itu berarti, untuk menjadi yang terbaik, aku harus mengembalikan keteraturan sistem terbangku dan menghapus bayangan seekor burung Gallinula Chloropus. Dan aku harus bisa mengembalikan kemampuanku.

Singkat cerita. Aku berhasil menempati urutan 10 burung pertama. Tapi hal tersebut tidak membuatku gembira. Justru lebih membuatku sering termenung. Ya, aku tidak bisa lagi terbang secepat dulu. Aku berada pada persimpangan jalan. Aku tidak mampu menentukan arah jalur terbangku selanjutnya. Aku terpuruk. Kemampuanku menempuh jarak 20.000 kilometer tidak membuatku mampu menentukan arah. Lalu entah apa selanjutnya yang membuatku kemudian menentukan arah untuk terbang menaklukkan samudera menuju utara dari tanah kelahiranku.

Memori itu masih kuat melekat dalam pikiranku. Tapi realita memaksaku hidup pada hari ini, detik ini, bukan pada masa lalu. Aku kembali menjelma sebagai manusia. [June, 02 2007]

____________________
[1] Terima kasih ibu, yang selalu setia menemani perjalanan hidupku. Yang selalu membantu aku terjaga dari keterpurukan.

[2] Helain halus pada duri kecil yang tumbuh di tiap ruas pada bulu burung.

Read More......

Sang Harapan

Selamat datang di dunia kedua sang manusia, adek kecil. Meski aku belum pernah menyaksikan langsung saat-saat dimana kau tertawa riang, tanpa beban. Bagaimana kau menangis kehausan karena panasnya alam baru yang kau kenal. Bagaimana engkau tertidur lelap, setelah tiap beberapa jam kau mempelajari sekelilingmu, mencari makna semuanya. Tapi kau selalu hadir dalam sanubariku, dalam doaku.

Meski saat ini, kau belum mengenal bahasa manusia. Aku yakin, kau telah mengenal bahasa cinta. Cinta yang benar-benar sejati. Cinta yang akan membuatmu tegar, kuat, siap menantang hidup. Tetaplah kau perhatikan tiap fenomena di sekelilingmu, simpanlah dalam sanubarimu, kau harus menjadi manusia tegar. Kau adalah harapan.

Jadilah seperti Saddam, singa padang pasir, yang selalu menjadi singa kapanpun dan dimanapun. Saddam yang tetap singa hingga saat berhadapan dengan tiang gantung. Demi martabat dan kehormatan sebuah bangsa.

Jadilah seperti Zaid bin Tsabit, yang tekun, sehingga bisa menguasai bahasa asing dengan waktu yang sangat singkat.

Adek! Hidup ini penuh teka-teki. Hidup ini bukan kita yang inginkan. Bukan kita yang memiliki niatan untuk hidup. Hidup ini adalah amanah. Kita harus jalankan hidup ini dengan kepala tegak. Setiap kita telah memiliki tugas masing-masing. Hanya kita yang bisa menjadikan hidup kita menjadi benar-benar ada.


[ Firja, cepet gede ya! ;) ]


Bawwâbah, di awal 2007


Read More......